M. Nasrudin *)
Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. (QS an Nisa [04] : 159)
Sebelum Islam datang, bangsa Arab sudah punya konsep ketuhanan yang disebut watsaniyah. Mereka meyakini Allah sebagai dewa tertinggi. Saking tingginya, Realitas ini tak terjamah oleh mereka yang merasa kotor oleh dosa.
Karenanya, mereka ber-wasilah (berperantaraan) lewat 'dewa bawahan Allah': al Lata, al Uza, dan Manata. Ketiganya dimanifestasikan dalam patung yang dipajang di sekitar Kakbah. "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya" (az Zumar [39]: 3).
Akan tetapi, kebiasaan membawa batu sekitar Kakbah selepas berhaji ke tanah air masing-masing menimbulkan efek tidak baik. Mereka menghormati batu-batu tersebut sebagaimana mereka menghormati patung dewa-dewa di sekitar Kakbah. Akhirnya, tradisi ini berkembang menjadi penyembahan terhadap patung (paganisme).
Kemudian, ketika datang, Islam percaya pada Realitas tertinggi. Dialah Allah, wahdahu laa syariika lah. Allah yang Maha Esa, tak ada sekutu bagi-Nya.
Visualisasi Muhammad
Tak dapat dipungkiri, Muhammad adalah figur yang sangat berjasa dan berpengaruh. Selama kurang dari seperempat abad, ia berhasil menyatukan semenanjung Arab di bawah panji-panji Islam. Mengeluarkan mereka dari kegelapan moral (jahiliyah).
Penghormatan atas Muhammad, karenanya, merupakan hal yang wajar. Akan tetapi, tidak sampai pada taraf menyejajarkannya dengan Tuhan. "Maha Suci Tuhanku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul?" (QS 17: 93). Muhammad mengalami proses basyariyah (kemanusiawian) sebagaimana lazimnya; dilahirkan, makan, dan meninggal dunia.
Penghormatan umat Islam kepadanya, sebatas peringatan atas peristiwa penting yang berkelindan semasa hidup Muhammad. Seperti kelahirannya (Maulid Nabi), Isra’ Miraj, hingga Hijrah ke Madinah (tahun baru Islam).
Kendati atas nama penghormatan, Islam melarang visualisasi Muhammad. Hal ini mengacu pada kejadian ajaran watsaniyah di atas. Visualisasi Muhammad, dengan latar kecintaan umat Islam yang luar biasa, sangat mungkin memicu pengkultusan berlebih dan penyembahan atas sosok Muhammad: penodaan atas keesaan Tuhan. Maka, pemuatan 12 karikatur Muhammad oleh Jyllansd-Posten, koran Denmark sungguh tak bisa ditolerir, meski berdalih kebebasan berekspresi.
Terlebih, dalam salah satu karikatur, ‘Muhammad’ digambarkan bersurban bom dan beberapa wanita bercadar ada di belakangnya. Tak salah jika ini dipandang sebagai upaya pembunuhan karakter atas Muhammad dan Islam tentunya. Karena kesan yang muncul adalah Muhammad haus darah dan doyan wanita.
Ruang dialog
Islam selama ini, meminjam istilahnya Akbar S. Ahmed, menjadi tertuduh. Seolah-olah di Barat terjadi ketakutan luar biasa terhadap Islam. Sindikasi media terlihat dengan banyaknya media Barat yang turut merelai kartun kontroversial tersebut. Hal ini memberikan kesan bahwa Barat secara terorganisir membuka front pertentangan dengan Islam.
Kecurigaan ini diperparah dengan sikap tak dewasa George Bush cs yang mendukung kebebasan berekspresi versi Denmark. Tampaknya, tesis Samuel P. Huntington, the clash of civilization (benturan peradaban), bahwa Islam dan Barat adalah dua kutub yang saling bertolak belakang, benar-benar mengkristal dan menemukan pembenaran logis.
Kecurigaan dan kekecewaan itu mengkristal dalam beragam bentuk. Mulai aksi damai; demonstrasi di Kedubes atau Konsulat Jendral Denmark; membakar bendera Denmark; hingga pengepungan dan pembakaran fasilitas Kedubes Denmark. Sebagian yang lain memboikot produk Denmark dan beberapa negara Eropa.
Pertanyaan yang muncul: efektifkah reaksi ini? Karena yang mengemuka justru semakin lengkapnya stereotip hitam bagi Islam. Islam semakin lekat dengan kekerasan, pertumpahan darah, dan seterusnya, sebagaimana Barat meyakini Islam disebarkan di bawah kilatan pedang.
Selain itu, aksi boikot hanya akan menghambat rekonsiliasi yang selama ini mulai membaik. Lebih lanjut, hal ini justru semakin menjerat langkah muslimin sendiri. Tentu kita tak mau ‘kecelakaan’ bubarnya Uni Soviet lantaran Politik Tirai Besi menimpa umat Islam.
Selayaknya kita ingat akan teguran Tuhan kepada Muhammad yang hendak membalas kematian Hamzah, pamannya—dibunuh dengan 70 luka— dengan 70 nyawa orang kafir. Tuhan menyatakan bahwa satu jiwa cukup dibalas dengan satu jiwa.
Perasaan kecewa, tersinggung, dan marah adalah manusiawi. Namun, sisi kemanusiaan itu akan kabur jika pengungkapannya tidak manusiawi. Jelas tidak manusiawi jika kemarahan atas kesalahan beberapa redaktur media itu dilampiaskan kepada setiap warga Denmark, AS atau Eropa yang tidak tahu-menahu. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. "Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan" (QS al Maidah [5]: 8).
Karenanya, salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan melayangkan surat tuntutan kepada media tersebut untuk meminta maaf dan mengembalikan nama baik Muhammad dan umat Islam. Tentunya, lewat jalur diplomasi sebagaimana pesan Tuhan pada ayat di atas, Dan bermusyawarahlah kalian dalam uruan itu.
Lebih jauh dari itu, membuka ruang dialog sangat penting. Dengannya, tembok pembatas antara Islam-Barat akan runtuh. Ke depan, ruang dialog ini diharapkan bisa menjadi jembatan penembus kebuntuan antara Islam dan Barat.
Dari sini, Islam sebagai rahmatan lil aalamiin, rahmat bagi sekalian alam semakin terasa. Karenanya, yang seharusnya ditampilkan adalah sikap dewasa, arif, pikiran jernih, serta dengan kepala dingin. Dan sebagaimana yang dikutip dalam ayat di muka, Maafkanlah dan mintakan ampun bagi mereka.
Ketika pihak tersebut telah mengabulkan tuntutan maka tak ada salahnya untuk memberikan maaf. Tentu kita masih ingat bagaimana Muhammad memaafkan Suraqah yang ingin membunuhnya karena iming-iming seratus ekor unta. []
*) M. Nasrudin
Redaktur Majalah Justisia Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang
Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. (QS an Nisa [04] : 159)
Sebelum Islam datang, bangsa Arab sudah punya konsep ketuhanan yang disebut watsaniyah. Mereka meyakini Allah sebagai dewa tertinggi. Saking tingginya, Realitas ini tak terjamah oleh mereka yang merasa kotor oleh dosa.
Karenanya, mereka ber-wasilah (berperantaraan) lewat 'dewa bawahan Allah': al Lata, al Uza, dan Manata. Ketiganya dimanifestasikan dalam patung yang dipajang di sekitar Kakbah. "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya" (az Zumar [39]: 3).
Akan tetapi, kebiasaan membawa batu sekitar Kakbah selepas berhaji ke tanah air masing-masing menimbulkan efek tidak baik. Mereka menghormati batu-batu tersebut sebagaimana mereka menghormati patung dewa-dewa di sekitar Kakbah. Akhirnya, tradisi ini berkembang menjadi penyembahan terhadap patung (paganisme).
Kemudian, ketika datang, Islam percaya pada Realitas tertinggi. Dialah Allah, wahdahu laa syariika lah. Allah yang Maha Esa, tak ada sekutu bagi-Nya.
Visualisasi Muhammad
Tak dapat dipungkiri, Muhammad adalah figur yang sangat berjasa dan berpengaruh. Selama kurang dari seperempat abad, ia berhasil menyatukan semenanjung Arab di bawah panji-panji Islam. Mengeluarkan mereka dari kegelapan moral (jahiliyah).
Penghormatan atas Muhammad, karenanya, merupakan hal yang wajar. Akan tetapi, tidak sampai pada taraf menyejajarkannya dengan Tuhan. "Maha Suci Tuhanku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul?" (QS 17: 93). Muhammad mengalami proses basyariyah (kemanusiawian) sebagaimana lazimnya; dilahirkan, makan, dan meninggal dunia.
Penghormatan umat Islam kepadanya, sebatas peringatan atas peristiwa penting yang berkelindan semasa hidup Muhammad. Seperti kelahirannya (Maulid Nabi), Isra’ Miraj, hingga Hijrah ke Madinah (tahun baru Islam).
Kendati atas nama penghormatan, Islam melarang visualisasi Muhammad. Hal ini mengacu pada kejadian ajaran watsaniyah di atas. Visualisasi Muhammad, dengan latar kecintaan umat Islam yang luar biasa, sangat mungkin memicu pengkultusan berlebih dan penyembahan atas sosok Muhammad: penodaan atas keesaan Tuhan. Maka, pemuatan 12 karikatur Muhammad oleh Jyllansd-Posten, koran Denmark sungguh tak bisa ditolerir, meski berdalih kebebasan berekspresi.
Terlebih, dalam salah satu karikatur, ‘Muhammad’ digambarkan bersurban bom dan beberapa wanita bercadar ada di belakangnya. Tak salah jika ini dipandang sebagai upaya pembunuhan karakter atas Muhammad dan Islam tentunya. Karena kesan yang muncul adalah Muhammad haus darah dan doyan wanita.
Ruang dialog
Islam selama ini, meminjam istilahnya Akbar S. Ahmed, menjadi tertuduh. Seolah-olah di Barat terjadi ketakutan luar biasa terhadap Islam. Sindikasi media terlihat dengan banyaknya media Barat yang turut merelai kartun kontroversial tersebut. Hal ini memberikan kesan bahwa Barat secara terorganisir membuka front pertentangan dengan Islam.
Kecurigaan ini diperparah dengan sikap tak dewasa George Bush cs yang mendukung kebebasan berekspresi versi Denmark. Tampaknya, tesis Samuel P. Huntington, the clash of civilization (benturan peradaban), bahwa Islam dan Barat adalah dua kutub yang saling bertolak belakang, benar-benar mengkristal dan menemukan pembenaran logis.
Kecurigaan dan kekecewaan itu mengkristal dalam beragam bentuk. Mulai aksi damai; demonstrasi di Kedubes atau Konsulat Jendral Denmark; membakar bendera Denmark; hingga pengepungan dan pembakaran fasilitas Kedubes Denmark. Sebagian yang lain memboikot produk Denmark dan beberapa negara Eropa.
Pertanyaan yang muncul: efektifkah reaksi ini? Karena yang mengemuka justru semakin lengkapnya stereotip hitam bagi Islam. Islam semakin lekat dengan kekerasan, pertumpahan darah, dan seterusnya, sebagaimana Barat meyakini Islam disebarkan di bawah kilatan pedang.
Selain itu, aksi boikot hanya akan menghambat rekonsiliasi yang selama ini mulai membaik. Lebih lanjut, hal ini justru semakin menjerat langkah muslimin sendiri. Tentu kita tak mau ‘kecelakaan’ bubarnya Uni Soviet lantaran Politik Tirai Besi menimpa umat Islam.
Selayaknya kita ingat akan teguran Tuhan kepada Muhammad yang hendak membalas kematian Hamzah, pamannya—dibunuh dengan 70 luka— dengan 70 nyawa orang kafir. Tuhan menyatakan bahwa satu jiwa cukup dibalas dengan satu jiwa.
Perasaan kecewa, tersinggung, dan marah adalah manusiawi. Namun, sisi kemanusiaan itu akan kabur jika pengungkapannya tidak manusiawi. Jelas tidak manusiawi jika kemarahan atas kesalahan beberapa redaktur media itu dilampiaskan kepada setiap warga Denmark, AS atau Eropa yang tidak tahu-menahu. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. "Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan" (QS al Maidah [5]: 8).
Karenanya, salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan melayangkan surat tuntutan kepada media tersebut untuk meminta maaf dan mengembalikan nama baik Muhammad dan umat Islam. Tentunya, lewat jalur diplomasi sebagaimana pesan Tuhan pada ayat di atas, Dan bermusyawarahlah kalian dalam uruan itu.
Lebih jauh dari itu, membuka ruang dialog sangat penting. Dengannya, tembok pembatas antara Islam-Barat akan runtuh. Ke depan, ruang dialog ini diharapkan bisa menjadi jembatan penembus kebuntuan antara Islam dan Barat.
Dari sini, Islam sebagai rahmatan lil aalamiin, rahmat bagi sekalian alam semakin terasa. Karenanya, yang seharusnya ditampilkan adalah sikap dewasa, arif, pikiran jernih, serta dengan kepala dingin. Dan sebagaimana yang dikutip dalam ayat di muka, Maafkanlah dan mintakan ampun bagi mereka.
Ketika pihak tersebut telah mengabulkan tuntutan maka tak ada salahnya untuk memberikan maaf. Tentu kita masih ingat bagaimana Muhammad memaafkan Suraqah yang ingin membunuhnya karena iming-iming seratus ekor unta. []
*) M. Nasrudin
Redaktur Majalah Justisia Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang
Comments