Cambuk Buat Kita
M. Nasrudin *)
Mengejutkan. Di tengah hujan kritik atas mutu pendidikan kita, segelintir siswa berprestasi di pentas dunia. Empat emas dan satu perak digondol dari Olimpiade Fisika ke-37 di Singapura. Bahkan, Jonathan, menyabet gelar absolute winner, mengungguli semua peserta dari 86 negara (Kompas, 16/07). Ini artinya, kita punya aset berharga.
Aset tersebut sudah seharusnya diberdayakan. Betapa malang, bila aset itu hilang dari peredaran karena bertumpuk kelengahan kita. Antara lain, pertama, kacaunya sistem pendidikan. Selama ini, kita menganut asas linearisme pendidikan. Proses pendidikan yang berliku diasumsikan sebagai sebuah garis yang bergerak lurus.
Maka, dibakukanlah UAN—dengan tiga mata pelajaran plus standar nilai 4,5—sebagai satu-satunya parameter kelulusan. Ini jelas menyalahi fitrah penciptaan manusia yang bhinneka. Lagi pula, kebutuhan masyarakat juga berbhineka.
Pemerintah, karenanya harus mengupayakan kurikulum yang bisa menjadi lahan pengembangan potensi siswa —tentunya beragam—, bukan menyeragamkan. Bukankah spesialisasi bidang tertentu memberi nilai lebih? Bisa dilihat, siswa SLTA itu, bahkan Firmansyah yang masih SMP, bisa menjawab soal program S2 Fisika.
Kedua, apresiasi pemerintah amat kurang. Tak ada penghargaan khusus bagi siswa berprestasi itu selain menjamu ke istana, ditanya bagaimana perasaannya, yang hanya basa-basi. Bisa dipastikan, pemerintah tak akan memberikan beasiswa kepada (salah satu saja) di antara siswa itu untuk meneruskan pendidikan. Padahal, inilah yang mereka—beserta ribuan siswa berbakat lain—butuhkan.
Pada banyak kasus, siswa berprestasi itu justru ke luar negeri terpengaruh iming-iming beasiswa Universitas bonavid luar negeri. Mereka akan lakukan apa saja, termasuk ikatan dinas dengan PT asing, asalkan bisa melanjutkan pendidikan, gratis pula. Ini wajar, di tengah kacau dan mahalnya pendidikan di negeri sendiri. Dan wajar pula bila masa studi telah usai, mereka tak segera pulang lantaran masih terikat perjanjian.
Merekapun makin betah di luar negeri karena fasilitas dan gaji lebih menggiurkan. Mereka bisa mengekspresikan diri sesuai pilihan. Sementara, suasana kontras amat terasa bila dibandingkan dengan kondisi dalam negeri. Tak ada jaminan kerja sesuai bidang keahlian. Pun, tak ada jaminan gaji dan fasilitas. Kondisi ini bisa melunturkan idealisme, bahkan patriotisme.
Ketiga, mutu pendidikan kurang merata. Ini merupakan imbas kurang meratanya pembangunan di daerah. Sekedar contoh, lulusan SD di Papua bisa membaca saja sudah hebat. Bandingkan dengan lulusan SD di Jawa. Padahal, anak cerdas kebanyakan justru berasal dari daerah tertinggal, laiknya Andy Latief, siswa SMAN 1 Pamekasan, yang kemarin meraih emas.
Lantaran tak ada polesan khusus, aset di daerah tertinggal itu akhirnya kehilangan kesempatan berekspresi lebih jauh. Jika demikian, siapa yang merugi, kalau bukan kita semua?[ ]
M. Nasrudin
Mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang
Comments