HIJRAH DAN TEOLOGI MUSIBAH *)
Tidak salah, bila tahun baru Hijriyah tidak dirayakan dengan pesta pora dan sebangsanya. Karena bila ditengok sisi historis, tak ada kegembiraan yang menyertai kehadiran tahun baru Hijriyah. Tahun pertama Hijriyah adalah tahun-tahun berat dalam perjuangan Nabi.
Nabi beserta Abu Bakar berhasil mencapai Yatsrib pada 12 Rabiul Awal/24 September 622 M dengan selamat. Di tempat yang baru, Kaum Muhajirin dari Makkah mendapatkan suaka politik dan bahkan dipersaudarakan dengan kaum muslim Anshar.
Makna Hijrah
A.W. Munawwir dalam kamus al-Munawwir memaknai hijrah sebagai “pindah (dari satu negeri) ke negeri lain”, secara geografis tentunya. Lebih jauh dari itu, Raghib al-Isfahani, sebagaimana kutip Husein Muhammad memperluas cakupan makna “hijrah”, tak hanya geografis-fisik, melainkan juga hijrah teologis-psikis.
Sebagai pemimpin kota Madinah, Muhammad berhasil membangun tatanan masyarakat yang cukup teratur, membentuk dan mengembangkan civil society yang kokoh dan cerdas, meski komposisi masyarakatnya cukup heterogen, mulai dari kepercayaan (Islam, Yahudi, Nasrani, Paganisme, dan sisa-sisa Zoroaster), suku bangsa, profesi, dan seterusnya.
Hijrah dari Musibah
Kondisi kacau, meski tidak sama persis seperti zaman Jahiliyah, ada beberapa titik kesamaan dengan apa yang kita alami dewasa ini. Tentu, kejahiliyahan itu tidak mewujud hukum rimba, melainkan dengan dikesampingkannya hak-hak rakyat untuk hidup layak.
Bila teologi paganisme Arab kuno mengenal dewa tertinggi yang disebut “Allah” (beda dengan Islam: Allah adalah satu-satunya tuhan) maka kini kita juga mengenal dewa tertingi. Dia adalah “Perut”.
Perut yang setali tiga uang dengan nafsu, kemudian menutup nurani. Akhirnya, kita kehilangan kemanusiaan. Kita rela melakukan apapun demi kebutuhan perut, meski mempertaruhkan harga diri.
Demi perut, kapal laut diberi muatan melebihi ambang batas; meski tak laik terbang, pesawat dipaksa terbang; penyuapan dan korupsi meraja lela di sekeliling kita. Anugerah Tuhan berupa alam kita eksploitasi habis-habisan. Bila perlu, yang lain tidak usah diberi.
Ini mengingatkan kita pada lirik lagu Iwan Fals dan Franki Sahilatua. “Ibu pertiwi anugerah ilahi/jangan makan sendri//”. Maka, benar firman Tuhan, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan pekerjaan tangan-tangan manusia,
Supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali. (Dzahara al fasâd fi al barri wal bahr bimâ kasabat aydin nâs liyudzîqahum ba’dha alladzi ‘amilû la’allahum yarji’ûn, [QS ar Ruum: 41).
Tak heran, serangkaian musibah susul-menyusul menimpa kita. Mulai kebakaran hutan, polusi asap, kekeringan, gagal panen, busung lapar, flu burung, banjir, tanah longsor, gempa bumi, badai tropik, korupsi, cuaca dan musim tidak menentu; kecelakaan transportasi darat (kereta api masuk jurang, tabrakan karambol, dst).
Kecelakaan di laut (kapal tenggelam, kapal terdampar, kapal terbakar, dst), maupun di udara (pesawat hilang, gagal terbang, salah jalur, dst). Bahkan, mengutip Gus Mus, musibah kelaparan masih mengejar kita yang haji di tanah suci.
Pada ayat di atas, digunakan kalimat bimâ kasabat aydinnâs (karena perbuatan tangan manusia). Di situ digunakan kata aydin yang merupakan bentuk plural dari yad (tangan).
Dalam bahasa Arab, kata yad tidak hanya dimaknai sebagai tangan organ tubuh, melainkan juga al-quwwah (kekuasaan) politis maupun ekonomis. Kekuatan politis maksudnya al-jâh (pangkat), al-qudrah (kedudukan) atau sulthân (kekuasaan). Sedang kekuatan ekonomis adalah pemegang kapital (ra’su mâl).
Jelas, dalam ayat tadi digunakan kata sambung bi (dengan) yang merupakan ba’ sababiyah, menunjuk makna penyebab. Bimâ kasabat aydinnâs, semua kerusakan itu merupakan akibat perbuatan “tangan” manusia.
Tujuan awal semua musibah itu adalah agar kita merasakan sebagian (ba’dha) saja dari semua akibat perbuatan kita. Maksudnya, masih banyak yang lain, di dunia dan akhirat.
Dalam lima ayat yang lain (QS 2:30; 27;62; 35:39; 7:129; dan 38:36), ditegaskan bahwa tugas manusia selain sebagai abdullah (Hamba Allah), adalah sebagai khalifah Allah (agen tuhan) di bumi, bertugas memakmurkannya.
Karena itu, berbuat kerusakan jelas kontraproduktif dengan tugas khalifah. Maka, tak heran bila ancaman hukuman kepada pembuat kerusakan amat berat.
Kitab suci menambahkan: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya) (QS al-Maidah: 33).
Dinyatakan, bahkan antara “berbuat kerusakan” dengan “memerangi Allah dan Rasul-Nya” dihubungkan dengan kata sambung (huruf athaf) wa (dan). Kata wa merujuk makna adanya persamaan antara kata yang disambungkannya. Artinya, berbuat kerusakan oleh al-Quran dipersamakan dengan memerangi Allah dan Rasul.
Dalam disiplin fiqh, dalâlah ayat di ata digunakan untuk memberi sanksi kepada penyamun (qâthi’ thâriq) yang merampok kafilah dagang. Tampaknya, ada baiknya bila ayat ini diterapkan untuk mereka yang korupsi, illegal loging, suap, dan seterusnya.
Karena, madharat yang ditimbulkan perilaku tersebut jauh lebih besar ketimbang sekedar merampok kafilah dagang. Melampaui dalâlah dzahir teks, idea moral ayat di atas adalah menjaga kelestarian alam, di mana kita—manusia—juga merupakan bagian tak terpisahkan darinya. Yang lebih penting lagi adalah dar’u mafâsid, tindakan prefentif yang melibatkan seluruh elemen bangsa.
Kiranya, momen tahun baru Hijrah ini kita bisa jadikan waktu yang tepat untuk hijrah teologis-psikis, dari apatis kepada alam menuju peduli pada alam; dari korupsi menuju jujur, dan seterusnya. Akhirnya, Kullu ‘am wa nahnu bi khair.
Tulisan ini telah dimuat di rubrik Opini harian Sore Wawasan, 19 Januari 2007 lalu.
Thanks buat Aa Tedi atas masukannya
Simpan tulisan versi pdf di sini (klik kanan >Save Link as....)
Comments