Skip to main content

bila muhammad seorang superman

Dinamis dan kreatif. Dua kata inilah yang kali pertama muncul dalam benak kita saat membuka lembar demi lembar Maulid ad-Dibaiy. Maulid ini ditulis dalam dua bentuk: prosa dan syair. Tercatat lima buah kumpulan syair indah. Di sela-sela kelimanya beberapa kumpulan prosa yang juga tak kalah puitis menghiasi kitab ini.

Mengawali buku ini, kita langsung disuguhi kumpulan syair. Kumpulan syair pertama ini lebih berupa doa agar diberi keberkahan, diampuni dosa, dan bisa berkumpul dengan Nabi kelak. Selain kepada Nabi, doa juga ditujukan kepada para sahabat, keluarga, guru, orang tua, dan seluruh umat Islam.

Kumpulan syair kedua tak jauh berbeda. Tapi, kali ini sang pengarang curhat tentang kondisi dirinya yang (ternyata) keturunan Muhammad. Syair kali ini lebih banyak berwujud pemuliaan—untuk tidak menyebut pengkultusan— atas Muhammad dan keturunanya.

Hal ini amat kentara pada syair ke-16 dan ke-17. Dinyatakan, keturunan Muhammad adalah kunci keamanan bumi dan bintang petunjuk. Beberapa keturunan Nabi yang disebutkan dalam kumpulan ini antara lain, Ali bn Abi Thalib, Hasan, Husein, Ali Zainal Abidin, al-Baqir, dan Ja’far Shadiq. Kesemuanya merupakan anggota imam Syiah dua belas.

Sebaliknya, tak ada satu sahabatpun yang namanya tercantum, meski seorang dari empat khalifah. Tampak jelas, penulis ad-Dibaiy menunjukkan identitas Syiah. Kendati demikian, kitab ini lazim dibaca komunitas Sunny Nusantara setiap Kamis malam.

Bagian selanjutnya adalah sekumpulan prosa yang amat puitis. Hampir semua kalimat diakhiri dengan ba’ yang huruf sebelumnya berharakat kasrah. Di sinilah tampak nyata keseriusan, kedalaman sastra (balaghah), serta ketajaman dzauq bahasa sang penulis.

Penulis menuturkan kisah ke-menjadi-an (becoming) Muhammad, tak hanya pra-natalis, melainkan merujuk jauh ke belakang hingga alam ini belum mewujud. Jauh sebelum Allah mencipta Adam dari segumpal tanah, Ia telah mencipta Nur Muhammad dari Nur-Nya yang dibarengi dengan sanjungan, “Inilah sayyid al-Anbiya (junjungan para nabi), orang suci teragung, dan kekasih yang paling mulia.”

Prosa kedua menggambarkan perdebatan kecil antara Allah dengan malaikat yang berusaha menebak jati diri Nur itu. Tapi, seketika malaikat menebak, seketika itu pula tebakan itu keliru dan disanggah Allah. Hingga akhirnya, Allah menceritakan sebagian identitasnya.

Prosa ketiga menggambarkan secara elok fisik Muhammad. Tersebut, ia diutus di Tihamah (Makkah), ada tanda kenabian di punggung, berwajah cerah, dan berfisik sempurna. Digambarkan pula bagaimana makhluk lain, selain manusia, yang hormat pada Muhammad, laiknya batu, unta, dan pepohonan. Seperti yang pernah diceritakan Maysarah, pembantu Khadijah bt Khuwailid saat Muhammad berdagang ke Syiria untuk kali kedua.

Selanjutnya, setangkai syair memberikan sketsa rindu dendam seekor unta akan yang terkasih, Muhammad. Sketsa itu disusul dengan kebahagiaan tak terperikan seorang pecinta tatkala bersua sang kekasih, Muhammad.

Pada babak selanjutnya, kisah Nur Muhammad pada zaman azali diperkuat dengan hadits riwayat Abdullah bn Abbas. Disebutkan, Nur ini lantas berpindah dari satu tulang rusuk (bermula Adam, Nuh, Ibrahim, dst) ke rahim perempuan-perempuan yang juga suci hingga lahirlah jasad Muhammad dari rahim ibunya.

Sebuah hadits lain diriwayatkan oleh Atha’ bn Yasar, seorang Yahudi yang belajar Tawrat dari ayahnya. Hingga sang ayah meninggal, ia tidak mendapatkan pengajaran akan satu halaman Tawrat yang selalu dilewati ayahnya. Dan, Atha’ memberanikan diri membuka lembaran itu setelah kematian sang ayah. Ia terkejut tatkala menemukan teks yang mengabarkan kedatangan seorang rasul dari Makkah lengkap dengan ciri-cirinya.

Prosa seterusnya melukiskan kondisi pra-natal Muhammad. Arsy dan Kursi bergetar karena gembira, langit bercahaya, dan malaikat bersyukur, bertahlil, juga beristighfar. Kala dilahirkan, Muhammad dalam keadaan sujud, memuji kepada Allah, sempurna, dan sudah terkhitan.

Prosa ini dilangsungkan dengan seuntai syair yang dibaca tatkala sidang pembaca Maulid berdiri. Konon, Nur Muhammad hadir di antara para pembaca maulid. Dari gambaran ini, kita dapat menarik sebuah garis tebal. Bahwa Maulid (kisah kelahiran Muhammad) ini ditulis atas dasar rasa cinta dan rindu dendam menggelora.

Amat jelas, Muhammad sang terkasih digambarkan sebagai sesosok manusia super, super sempurna, bahkan untuk ukuran manusia super, nabi (biasa) sekalipun. Bila demikian, amat wajar bila Muhammad dalam kisah ini tampil sebagai intan tak ada cela.

Penggambaran semacam ini sejatinya kurang tepat, karena mematri pemahaman akan sosok Muhammad sebagai manusia super. Hingga kemudian, dimensi kemanusiaan atas Muhammad —yang sejatinya tak kalah menarik untuk ditelisik lebih dalam— dikubur dan dikaburkan dalam kecintaan buta.

Akibatnya, segala hal yang disandarkan pada sosok Muhammad merupakan sebuah idealitas. Dengan demikian, pembacaan kritis atas sosok Muhammad menjadi kemustahilan, dan bahkan bisa menimbulkan resisten yang teramat besar dan memakan banyak cost social. Tengok misalnya reaksi umat Islam atas koran Jylland-Posten, Denmark yang memuat dua belas kartun Nabi.

Hal yang berbeda akan kita rasakan dengan jelas, tatkala kita membaca sirah Nabawiyah yang ditulis sarjana Barat, yang lebih obyektif, seperti Karen Armstrong dalam buku yang kemudian diterjemahkan menjadi Muhammad; Biografi sang Nabi. Atau, dari dunia timur, kita mengenal Taha Husein yang terkenal dengan “Alâ H6amisy as-Syîrah”.

Dalam buku terakhir ini digambarkan secarsa gamblang, betapa manusiawinya seorang Muhammad. Kala itu, Muhammad kecil berebut makan bersama teman-teman sebayanya. Salah seorang teman merasa iri dengan bagian Muhammad. Kedengkian ini menjadi bom waktu yang merintangi dakwah Muhammad. Dialah Abu Lahab yang tercantum sebagai nama sebuah surat ke-111 dalam al-Qur’an.

Pembacaan semacam ini justru lebih mencerahkan dan bisa membuka lebar ruang dialog yang menyegarkan. Melalui sepenggal kisah ini misalnya, konon Sutan Suti, menulis kedengkian seorang Kacak kepada Midun yang mendapat bagian berkat selamatan lebih banyak dalam Roman yang amat terkenal, Sengsara Membawa Nikmat.

Kembali ke Maulid ad-Diba’iy. Beberapa prosa kemudian mengisahkan Muhammad saat di bawah asuhan Halimah as-Sa’diyah. Keberkahan selalu dilimpahkan kepada keluarga Halimah dengan segala bentuknya.

Suatu ketika, Muhammad didatangi tiga malaikat yang membersihkan hatinya dari tempat persembunyian setan, lalu memenuhinya dengan kesabaran, ilmu, keyakinan, dan keridhaan. Setelah itu, kejiwaan Muhammad makin menampakkan keistimewaan dan kedewasaan. Wajahnya berseri-seri, gaya bicaranya lemah lembut, dan kepribadiannya istimewa.

Kitab ini lantas ditutup dengan beberapa kuntum sajak unik dan sepucuk doa, yang juga tak kalah puitis-romantis. Beberapa penggalan prosa terakhir ini makin menegaskan kesan monoton dan eksklusif dalam memandang jenggereng yang berjuluk Muhammad.

Pemahaman monolitik semacam ini jelas mengekang pemahaman “lain”. Bila kita menggunakan takaran rasionalisme (Barat), semua uraian tadi sama sekali tidak rasional. Tetapi, kita harus sadar, dalam irasionalitas terdapat rasionalitas, dalam ukuran tertentu, seperti pernah diungkap Abed al-Jabiri yang ternyata sejalan dengan takaran cultural studies.

Dan, masyarakat Arab punya kriteria tersendiri berkait rasionalitas. Merupakan kekhasan dan kelebihan bangsa Arab, dalam menciptakan, menyusun, dan menyulam kata-kata (tanda) yang unik dan khas untuk menjadi perlambang bagi sekeranjang konsep (tinanda) di sebaliknya.

Jelasnya, tak ada yang salah bila kita mencoba menceburkan diri dengan pendekatan fenomenologi untuk menikmati kesegaran titik-titik embun yang tercecer di tumpukan kata-kata mutiara itu. Toh, sebagai umat Muhammad, meneladani beliau bisa jadi sebuah keniscayaan.

Comments

Euisry Noor said…
Bagus sekali tulisannya...

Saya selalu suka membaca tulisan yang mengupas tata bahasa Arab... biasanya sih Al-Qur'an, sekarang malah disini mengupas Barzanji & Diba'i... baru nemu
Anonymous said…
Terima kasih atas informasi menarik
terima kasih sudah berkenan mampir di blog kami.

Popular posts from this blog

Napak Tilas Leluhur di Mangunranan (2): Mbah Muhyidin yang Masih Bugar di Usia Senja

Berbekal arahan dari Mbah-mbah di depan masjid tadi, saya menemukan rumah Mbah Muhyidin. Saya ingat-ingat, rumahnya tidak banyak berubah dari 15 tahun lalu.  Sebuah rumah joglo sepuh tapi masih kokoh soko-sokonya.  Sampai di sini rumahnya tertutup.  Saya tanya anak laki-laki di rumah sebelah.  Belakangan saya tahu anak lelaki ini bernama Pangi, cucu Mbah Muhyidin dari putranya, Lek Kus.  Ternyata Mbah Muhyidin tidak di rumah.  * * * Di rumah ada seorang anak perempuan. Saya tanya. "Mbah Muhyidin ada?" "Mbah lagi di sawah, Pak.", jawab anak perempuan itu. Ya sudah, kita kemudian ke sawah. Sekalian saya juga penasaran dengan kondisi sawah di Mangunranan.  Belakangan saya tahu, anak perempuan ini bernama Wulan, cucu dari Mbah Muhyidin. Kedua orangtuanya tinggal di Kalimantan. * * *  Di sawah sebelah kiri jalan tanaman jagung sudah tinggi dan menunggu waktu untuk segera panen. Wulan mencari Mbah Kakung, tapi tidak ketemu.  Wulan kemudian berlari ...

Perbedaan Mukallaf dan Baligh dalam Fikih Islam

Terdapat dua istilah yang seringkali disebut tatkala membincang subjek hukum dalam fikih, yakni mukalaf dan baligh. Kedua istilah ini seringkali dianggap memiliki satu makna yang sama dan bisa saling substitusi. Terkadang seseorang menyebut mukalaf padahal yang dimaksud adalah balig. Ada pula orang lain yang menyebut kata baligh, padahal yang ia maksud adalah mukallaf. Hal yang cukup menggembirakan adalah, pengetahuan masyarakat tentang baligh sudah cukup baik. Warga di kampung kami, misalnya, umumnya memahami baligh sebagai orang yang sudah dewasa. Pengertian ini tidak salah dan sudah mendekati kebenaran. Dalam pandangan fikih, secara tegas baligh adalah kondisi di mana seseorang sudah mencapai usia dewasa secara biologis. Titik tekan dalam fikih ini adalah kedewasaan secara biologis yang lazimnya ditandai dengan berfungsinya organ reproduksi secara sempurna. Kesempurnaan ini bisa dilihat dari beberapa tanda fisik dan psikis. Bagi perempuan, ovarium sudah bisa memproduksi sel tel...

Mengapa Pipis Bayi Perempuan Harus Disiram dan Laki Cukup Diperciki?

Fikih Islam mengenal tiga klasifikasi najis berdasar tingkatan berat-ringannya. Yang paling berat adalah najis mughaladzah. Najis ini adalah seluruh bagian tubuh anjing dan babi beserta segala turunannya. Saking beratnya, cara mensucikan najis ini adalah dengan membasuhnya sampai hilang wujud, baru ditambah tujuh basuhan yang salah satunya dicampur dengan debu. Level yang paling ringan adalah najis mukhafafah . Najis ini hanya ada satu, yakni air seni bayi laki-laki yang belum berusia dua tahun dan hanya mengonsumsi ASI, tak pernah mengonsumsi makanan lain sebagai asupan gizi. Najis ini cukup diperciki dan seketika langsung menjadi suci. Di level tengah ada najis mutawasithah . Ini mencakup semua najis yang tidak masuk dalam klasifikasi ringan atau berat. Cara mensucikannya adalah dengan membasuh najis dengan air mengalir sampai bersih. Bagaimana dengan hukum air seni bayi perempuan? Dari penjelasan ringan di atas, hukum pipis bayi perempuan masuk ke dalam klasifikasi...

Gaul Iya, Paham Islam Juga

"Ma...ma...af, sa...ya...nggak tahu, Pak" Jawaban grogi seperti itulah barangkali yang kamu berikan kala ditanya gurumu: Apakah zakat itu? Gimana menyalurkannya? Mengapa kita musti beribadah? Apa sajakah ibadah itu? Dan seterusnya. Dan sebagainya. Ataukah dengan pedenya kamu tetep ngejawab atas ketidaktahuanmu? Janganlah yaw! Malu-maluin... Pertanyaannya kemudian, kenapa kita tidak tahu, padahal kita mengaku muslim sejati? Hayo... Kenapa? Mungkin, di antara kamu ada yang ngejawab, "Nggak ada waktu untuk belajar agama." Atau, "Mata pelajaran agama di sekolah ngebosenin, monoton, dan gurunya killer abis". Boleh jadi yang disampaikan di sekolah atau pengajian saat bicara agama pasti mengarah ke surga atau neraka. Iya, kalau kita punya tabungan banyak ibadah karena ngerti caranya, kita bisa pegang tiket ke surga. Lha kalau kita banyak dosa? Atau, kita tidak shalat misalnya dengan alasan aneh: karena tidak bisa. Apa tidak repot? Belum lagi jika belajar a...

Lebaran di Saudi dan Indonesia Berbeda, Kita Ikut Mana?

Lebaran di Saudi dan Indonesia Berbeda, Kita Ikut Mana? Pada mulanya begini. Lebaran Idul Fitri ataupun Idul Adha adalah ibadah yang terikat dengan sebab. Untuk Idul Fitri, sebabnya adalah masuknya tanggal 1 Syawal. Sedangkan untuk Idul Adha sebabnya adalah masuknya tanggal 10 Zulhijjah. Dari sini kita jadi tahu bahwa pokoknya ada pada sebab yakni peredaran bulan. Nah, peredaran bulan ini unik, karena ia terikat dengan perbedaan titik geografis (beda garis lintang dan bujur) pengamat di muka bumi. Pasti sering dengar kan informasi begini. Di Aceh ketinggian hilal sudah 2', tetapi di Poso masih 1', sedangkan di Jayapura malah masih -1". Sedangkan di Kairo sudah 3'. Di Aceh sudah bisa lihat hilal, tapi di Kalimantan belum. Di Baghdad sudah bisa lihat hilal, tapi di New Delhi belum. Perkara ini selalu terjadi setiap awal bulan dalam kalender Hijriah. Lalu bagaimana cara mengambil kesimpulan hukum dari peristiwa ini?  Para ulama klasik membuat batasan geografis keberlakuan...

Napak Tilas Leluhur ke Mangunranan (5): Darah Santri Anak-Anak Sayang Dirsan

Lek Syapingi beserta anak, menantu, dan cucunya. Pulang dari makam Pekutan hari sudah lumayan gelap.  Jalanan di kebun tambah gelap karena rindangnya pohon kelapa menutup sisa sinar matahari yang tersisa.  Sampai di rumah Lek Syapingi saya langsung diajak salat Maghrib.  Di halaman rumah banyak anak usia SD yang bermain.  Ada beberapa yang sedang mengambil air wudhu di keran yang ada di samping rumah. Saya kira mereka adalah anak-anak dan keponakan Lek Syapingi. Tapi kok ada banyak?  Ketika saya masuk ke ruang tamu, seorang anak mengumandangkan azan dan pujian.  Lima menit kemudian ia mengumandangkan iqamat.  Lek Syapingi meminta saya jadi imam, tapi saya menolak.  "Sohibul bait lebih utama, Lek. Hehe..." * * *  Seusai salat dan wiridan, beberapa anak mendaras al-Quran dan Juz Amma.  Mereka sorogan kepada Lek Syapingi yang telaten menyimak dan mengoreksi bacaan.  Rupanya di rumah ini ada anak-anak yang turut mengaji dan diajari oleh...

Membedakan Hukum Islam, Syariah, Fikih, dan Kanun (Reblog)

Di kalangan masyarakat umum, ada tiga istilah dalam tradisi Islam yang seringkali dipahami secara rancu. Ketiga istilah ini adalah hukum Islam, syariah, dan fikih. Ada kalanya orang menyebut hukum Islam, tetapi yang ia maksud adalah fikih. Ada pula orang yang menggunakan istilah syariah tetapi yang ia maksud adalah fikih. Padahal ketiganya adalah entitas yang berbeda. Sementara itu, istilah keempat (kanun) jarang disebut oleh masyarakat, kecuali masyarakat Aceh. Dalam penyebutan di kalangan masyarakat Aceh, istilah ini hampir tidak dijumpai persoalan salah pemahaman. Hal ini karena istilah kanun sudah lazim digunakan sesuai dengan konteks yang benar oleh pemerintah dan masyarakat. Syariah Syariah dalam pengertian bahasa adalah jalan setapak, jalan tempat air mengalir, atau jalan menuju mata air. Dalam tradisi kajian Islam, syariat adalah sekumpulan garis besar ajaran Islam yang mengatur peri kehidupan seorang muslim. Karena ia adalah garis besar, maka syariat ini memua...