Saat kali pertama datang ke Ngaliyan, pada akhir 2004 lalu, penulis masih bisa dengan mudah menemukan roh intelektual di IAIN Walisongo. Bisa dengan mudah, penulis mendapati sekelompok mahasiswa yang berdiskusi sore hari di sekitar kampus.
Dengan mudah, ratusan mahasiswa turun ke jalan di depan kampus tiga, kala bencana tsunami menghantam Aceh, penghujung Desember 2004. Penulis masih ingat tatkala dalam sehari, terkumpul sumbangan dari pengguna jalan lebih dari tiga juta rupiah.
Dalam pertarungan wacana, bisa dipastikan, setiap Minggu wajah-wajah akrab kawan kuliah kita bisa dengan mudah ditemukan bersama tulisannya di media massa, laiknya Suara Merdeka, Wawasan, Kompas Jateng, dan bahkan media massa nasional seperti Jawapos.
Dalam berbagai forum, baik regional maupun nasional, sudah menjadi kebiasaan bila mahasiswa IAIN Walisongo menjadi bintang di dalamnya. Pada forum diskusi mahasiswa Jawa Tengah misalnya, mahasiswa IAIN Walisongo menjadi maskot.
Dinamika kampus benar-benar hidup. Mahasiswa benar-benar mewarisi semangat rasionalisasi Rene Descartes, cogito ergo sum. Saya sadar (berpikir) maka saya ada. Semangat rasionalitas ilmiah benar-benar menjadi ukuran keber-ada-an seorang mahasiswa di kampus. Mereka yang tidak “berpikir” maka wujuduhu ka’adamihi.
Lalu, bagaimana dengan sekarang. Seperti yang bisa kita lihat, terjadi kemalasan global di jagat raya IAIN Walisongo. Selama ini, yang menjadi ukuran kegiatan mahasiswa adalah UKM dan BEM. Tanpa bermaksud menggeneralisir, kondisi sebagian UKM baik Fakultas dan Institut di IAIN Walisongo mengalami stagnasi, bahkan kemunduran.
Bahkan, untuk menggairahkan kembali semangat mahasiswa agar mau ”menghidupi” UKM, sampai harus diberikan ultimatum pembubaran UKM(I) bila selama tiga bulan pertama tidak ada kegiatan berarti. Regenerasi pengurus UKM kacau-balau.
Kepemimpinan UKM apalagi. Ada banyak UKM yang dipimpin oleh mereka yang secara terpaksa menjadi ketua, karena tak ada yang lebih layak. Bahkan, banyak pemimpin prematur yang belum siap mentalnya untuk menjadi seorang panutan. Akibatnya, roda organisasi tidak lancar. Atau, sebaliknya UKM dipimpin oleh pemimpin yang sudah uzur.
Tak jarang, ada UKM yang harus mengalami pergantian pengurus lebih dari dua kali dalam satu periode. UKM Fakultas lebih parah lagi. Ada beberapa UKM yang kantornya tidak pernah dibuka. Padahal, saat UKM tersebut eksis beberapa tahun yang lalu, UKM tersebut belum memiliki kantor.
Kondisi yang lebih baik bisa ditemui di lembaga pemerintahan mahasiswa, terutama eksekutif. BEM, baik Institut maupun BEM Jurusan relatif lebih baik. Meski, beberapa BEM agak pincang lantaran pengurus kurang komitmen. Akan tetapi, hal ini relatif bisa dengan mudah diatasi.
Berbeda dengan UKM yang lebih menekankan skill dan mengembangkan keahlian khusus. Di sinilah titik unik UKM. Karena, dibutuhkan seorang yang punya jiwa kepemimpinan dan memiliki kemampuan memadai sesuai skill yang dikembangkan UKM tersebut.
Kondisi BEM yang relatif lebih baik dibanding UKM, ini pada tataran tertentu bisa dilihat sebagai pergeseran orientasi mahasiswa IAIN Walisongo. Mahasiswa sekarang merasa lebih pede dan nyaman dengan jabatan politis kampus. Hingga merasa perlu berebut untuk mendapatkan jabatan-jabatan politis di kampus.
Penulis tidak bermaksud menyatakan bahwa politisi kampus itu negatif. Akan tetapi, realita yang berkembang di masyarakat adalah bahwa kerja politik adalah jenis pekerjaan yang tidak jelas kerjanya, tetapi hasilnya jelas. Pertanyaanya, apakah kecenderungan politisi kebanyakan juga menular kepada politisi kampus? Silahkan menilai sendiri.
Tegasnya, pergeseran orientasi yang disela-selani dengan kemalasan global telah terjadi di sekitar kita. Jurang Asrama yang dulu menjadi tempat berdiskusi telah menjelma Juras Night Club. Dan tampaknya, kondisinya dari hari ke hari kian parah. Dan kita baru geger tatkala terjadi “sesuatu”.
Senyatanya, kemalasan global ini hanya menimpa sebagian mahasiswa kita. Celakanya, sebagian di sini adalah sebagian besar. Karenanya, semua ini harus segera disudahi.
Walisongo Terkepung!!
Bila kita tilik secara mendalam, pergeseran —untuk tidak menyebut degradasi—ini tidak bisa dilepaskan sepenuhnya dari pergeseran gaya hidup mahasiswa Walisongo yang juga terpengaruh dengan pergeseran sosiologis di Ngaliyan.
Ngaliyan telah berubah menjadi metropol(u)itan. Belasan perumahan berjejer, mulai Perum Depag/IAIN, Ngaliyan Permai, Ngaliyan Asri, Bank Niaga, Bakti Persada Indah, Wahyu Utomo, Karonsih, Bukit Permata Puri, Pandana Merdeka, Villa Esperanza, Bukit Semarang Baru, dan seterusnya.
Pertumbuhan pemukiman ini jelas menjadi pasar tersendiri bagi para pebisnis, terutama pebisnis besar. Mereka berebut pasar potensial yang belum lama terbentuk. Tidak mengherankan, puluhan swalayan, ruko, dan rukan segera menyemut.
Bila kita hitung, sepanjang Jerakah-Ngaliyan, ada Aneka Jaya, Hypermarket, Sarinah (kemudian gulung tikar), dua buah Indomaret, Onno, dan menyusul Ngaliyan Square. Hampir semua ritel menyajikan segala kebutuhan sehari-hari. Karena, target pasar mereka adalah penduduk perumahan sekitar Ngaliyan.
Counter hape menyendawakan di sekitar jalan Ngaliyan. Di mulut gerbang kampus tiga saja, ada tiga counter hape. Lalu, bagaimana dengan toko buku? Toko buku Basmala di Perum Bank Niaga dan Hanna di bibir kampus telah gulung tikar, sepi pembeli.
Mari perhatikan, hampir tidak ada mahasiswa yang tidak menenteng hape, meski untuk “memberi makan” mereka masih ‘menodong’ ortu. Parkir kampus penuh, hingga sepeda motor diparkir di depan kelas. Helm racing dibawa masuk kelas.
Komputer warnet perpustakaan selalu penuh. Tapi, apa yang mereka lakukan? Dipastikan, 80 % dari mereka surving, chatting. Penulis tidak bermaksud menyatakan, segala fasilitas tersebut negatif. Tetapi, coba bayangkan, apa jadinya bila kita yang terbiasa dengan fasilitas harus hidup tanpa fasilitas? Bayangkan di sekitar kita tidak ada sepeda motor, tidak ada hape, tidak ada internet.
Pernah suatu ketika, salah seorang teman, tidak bersedia —tepatnya malas—mengantarkan surat ke rektorat, hanya karena tidak ada sepeda motor. Bahwa fasilitas diciptakan manusia sekedar untuk mempermudah, bukan sebagai tempat bergantung. Bila kita bergantung kepada ciptaan manusia sendiri, betapa lemah diri ini.
Memang, ada sekelompok mahasiswa yang tetap mempertahankan idealismenya. Tapi, kebanyakan kita tidak termasuk di dalam golongan ini. Lalu, kaitannya dengan segala fasilitas, akankah kita menegasikannya lalu kemudian memutar balik jarum jam?
Jelas, ini tidak memungkinkan. Yang masih memungkinkan adalah penyadaran tugas dan tanggung jawab mahasiswa yang tidak enteng. Mahasiswa adalah generasi elit yang punya kesempatan untuk mendapatkan banyak pengetahuan. Kesempatan ini membawa tanggung jawab ilmiah dan sosiologis.
sumber: Majalah Justisia edisi 31/2007
Comments
Tak heran jika banyak pengangguran intelektual. :(
http://aboutmiracle.wordpress.com/2008/01/17/ibadah-solat-yang-tidak-memberi-kesan/