Dalam dunia kepenulisan, menerjemah masih kalah populer dibanding menulis. Beragam stereotip negatif, meski sekedar guyonan, (di)lekat(kan) dengan aktivitas terjemah ini. Antara lain, menerjemah itu kurang kreatif, pemasungan diri, bukan kerja intelektual, mereduksi makna, hingga label “penyesatan”. Akhirnya, kebanyakan penerjemah kurang PD dengan aktivitasnya.
Sejatinya, pelabelan itu menjadi aksioma umum lantaran publik begitu saja menerimanya. Celakanya, tak ada yang membendung pelabelan yang tak perlu dan tak benar itu. Label-label itu akhirnya diterima publik sebagai “kebenaran”.
Kenapa pelabelan itu tak perlu? Karena aktivitas adalah persoalan pilihan. Tak seorangpun berhak memandang sebelah mata sebuah aktivitas. Apalagi, memaksa pilihan seseorang. Pun, pelabelan itu tak sepenuhnya benar. Ia menjadi benar (secara pragmatis) setelah disepakati publik. Karenanya, opini tandingan (second opinion) amat diperlukan demi keseimbangan opini.
Label-label itu, karenanya perlu dikritisi. Ungkapan “menerjemah tidak kreatif” misalnya, mencerminkan sikap arogan. Si pengucap hendak mengunggulkan menulis —bahkan diri sendiri— sebagai yang paling kreatif. Jelas ini pembelengguan atas makna kreatif pada aktivitas menulis semata. Tentunya, ini amat timpang.
Kreatifitas adalah daya cipta. Ia bisa mewujud dalam banyak hal, tak hanya menulis. Bagaimanapun, menerjemahkan juga salah satu kreatifitas. Dalam aktivitas ini, ada proses penciptaan. Karena, menerjemah adalah mewujudkan ide penulis asli dalam tampilan lain hingga mudah dipahami komunitas tertentu.
Di sisi lain, menulis dinyatakan menghasilkan karya tulen (genuine) dibanding menerjemah. Sebaliknya, menerjemah tak akan menghasilkan karya genuine. Padahal, jika mau jujur, adakah yang genuine di bumi ini? Lagi pula, tak sedikit penulis yang juga plagiator. Dan, dengan mengakui diri dan aktivitas menulis sebagai satu-satunya yang kreatif, berarti menyejajarkan diri dengan Tuhan, sang Maha Kreatif.
Menerjemah acap pula disebut pemasungan diri. Adalah benar, dalam menerjemahkan, seorang penerjemah hanya menjadi penyambung lidah penulis asli. Penerjemah memang tak punya banyak lahan untuk berimprofisasi.
Tetapi, bila ditilik lebih dalam, tak ada pemasungan dalam menerjemah. Karena sejatinya, penerjemah berlatih berkata jujur. Penerjemah dituntut menyampaikan yang dikatakan penulis apa adanya. Di sini, penerjemah begitu diuji kejujuran dan dedikasinya.
Memang, penerjemah tidak bisa benar-benar jujur. Ada sekat budaya dan bahasa yang memisahkan antara dirinya dengan penulis. Bahwa satu kata —tanda (signifiant)— dalam setiap bahasa—termasuk bahasa penulis—punya tinanda (signifie) yang tak pernah dipunyai oleh kata lain, meski dalam satu bahasa. Apalagi, dalam banyak kata dari dua tradisi yang berbeda.
Karena itu, yang terjadi selamanya hanyalah pembohongan. Dan penerjemah sadar akan hal ini. Ibnu Burdah, dalam buku “Menjadi Penerjemah” menyatakan, penerjemah hanyalah seorang pembohong yang teus berusaha jujur. Namun, ia tak akan pernah bisa sepenuhnya jujur. Tetapi, setidaknya ada usaha untuk berkata jujur.
Sama halnya, “menerjemah bukan kerja intelektual” membelenggu makna intelektual dalam kegiatan menulis. Padahal, karya intelektual punya banyak wajah. Maka, redefinisi atas “intelektual” diperlukan. Inteektual adalah orang pintar. Yang pintar tak hanya seroang penulis saja.
Dan dalam frame intelektualisme, menerjemah merupakan transmisi ide dari satu tradisi ke tradisi lain. Ini amat penting dalam pembangunan peradaban. Kiranya, perlu disebut Bait al-Hikmah, pusat kajian yang didirikan al-Makmun, khalifah bani Abasiyah di Baghdad.
Di Bait al-Hikmah, beragam kegiatan intelektual dilakukan. Selama lebih dari seratus tahun, ribuan tulisan para intelektual Yunani, Persia, dan India diterjemahkan ke bahasa Arab di tempat itu. Pada abad pertengahan, akhirnya Islam mencapai puncak peradaban setelah mengembangkan ilmu dari berbagai bangsa.
Proses ini terus berlangsung saat umat Islam menguasai Spanyol. Kita mencatat banyak ilmuan sekaligus penerjemah. Ibn Rusyd yang hidup pada abad ke-6 H, misalnya amat terkenal dengan julukan Komentator Agung Aristoteles (the great comentator of Aristoteles).
Perlu dicatat, bangsa Barat saat itu masih dalam kegelapan. Mereka mendapat pencerahan setelah menerjemahkan karya intelektual muslim ke bahasa mereka. Bahkan, mereka mengenal pemikir Yunani kuno lewat terjemahan berbahasa Arab, bukan dari bahasa aslinya. Dari penerjemahan, renaissance membawa bangsa Barat menuju kampiun dunia.
Dalam menerjemah, ada proses saling berbagi. Kita yang bisa mengambil madu dari suatu buku, bisa membagi madu itu kepada khalayak. Di dunia ini, masih banyak orang yang karena keterbatasan penguasaan bahasa asing, tak bisa mendapatkan manfaat dari buku yang dibacanya. Bisa jadi, banyak orang tak punya waktu luang untuk membuka kamus saat membaca buku asing.
Maka, di sinilah tugas penerjemah, membuka wawasan kepada khalayak agar bisa dinikmati bersama. Wallahu a’lam.
Comments