Skip to main content

Gaul Iya, Paham Islam Juga

"Ma...ma...af, sa...ya...nggak tahu, Pak" Jawaban grogi seperti itulah barangkali yang kamu berikan kala ditanya gurumu: Apakah zakat itu? Gimana menyalurkannya? Mengapa kita musti beribadah? Apa sajakah ibadah itu? Dan seterusnya. Dan sebagainya. Ataukah dengan pedenya kamu tetep ngejawab atas ketidaktahuanmu? Janganlah yaw! Malu-maluin...

Pertanyaannya kemudian, kenapa kita tidak tahu, padahal kita mengaku muslim sejati? Hayo... Kenapa? Mungkin, di antara kamu ada yang ngejawab, "Nggak ada waktu untuk belajar agama." Atau, "Mata pelajaran agama di sekolah ngebosenin, monoton, dan gurunya killer abis".

Boleh jadi yang disampaikan di sekolah atau pengajian saat bicara agama pasti mengarah ke surga atau neraka. Iya, kalau kita punya tabungan banyak ibadah karena ngerti caranya, kita bisa pegang tiket ke surga. Lha kalau kita banyak dosa? Atau, kita tidak shalat misalnya dengan alasan aneh: karena tidak bisa. Apa tidak repot?

Belum lagi jika belajar agama, kamu dipaksa harus paham huruf Arab. Udah bentuknya kayak cacing gitu. Bacanya juga aneh, dari sebelah kanan lagi. Banyak aturan bacanya pula. Kalo kayak gini, gimana bisa baca al-Qur’an dan paham Islam? Nah lho...

Yup, sekarang berbahagialah. Buku yang kamu pegang ini hadir memberi jawaban buat kamu yang emang lagi haus akan pengetahuan Islam dengan bahasa yang gue banget. Ada banyak hal yang bisa kamu pelajari, dari mengenal kedewasaan, mengapa kita harus ibadah, bagaimana cara ibadah (shalat, puasa, zakat, haji, dlsb). Spesial buat kamu, ada penjelasan hubungan muda-mudi (ehm...).

Sedikit catatan, buku ini adalah hasil diskusi panjang lebar penulis dengan ratusan siswa di beberapa SMA dan MA di Kota Semarang dan Kab. Pati Jawa Tengah dalam rangkaian Pesantren Ramadhan 2008 lalu. Karena itu, logika agama yang digunakan, juga berwarna anak SMA yang kritis, cerdas, gaul, dan selalu ingin tampil beda. Beberapa sekolah juga berencana menjadikan buku ini sebagai pegangan Pesantren Ramadhan kali ini.

Nah, sebagai bonus, pada halaman depan, ada kamus mini yang mencakup pengertian istilah-istilah keagamaan. Jadi, gak ada lagi alasan untuk malu di depan guru. Karena bahkan anak gaulpun, harus pinter agama, minimal sebagai pedoman diri. Eh, buku ini juga cocok buat kado ultah atau hadiah buat anak, saudara, sahabat, keponakan, kerabat, atau tetangga kita yang lagi berpuasa.

Selamat membekali diri di bulan suci.....


Judul : Fikih For Teens, Anak Gaul Paham Islam
Penulis : M. Nasrudin
Tebal : xx + 176 hlm
Cetakan : Perdana, Agustus 2009
Penerbit : Penerbit Jauza, Jogjakarta
Harga : Rp 32.000,-

Comments

wah, selamat Din. semakin tambah produktif rupanya... seneng dengernya. tetap semangat ya...

syukur2, sekadar rasa syukur, bisa dikasih gratisannya sampai ke kalibata, he he...
Makasih, Mas....
Alhamdulillah, daripada kelamaan nunggu dari jogja, lengsung ke Gramed Matraman aja. Sudah ada kok. Hehehe.....
Anonymous said…
nice blog though

Popular posts from this blog

Perbedaan Mukallaf dan Baligh dalam Fikih Islam

Terdapat dua istilah yang seringkali disebut tatkala membincang subjek hukum dalam fikih, yakni mukalaf dan baligh. Kedua istilah ini seringkali dianggap memiliki satu makna yang sama dan bisa saling substitusi. Terkadang seseorang menyebut mukalaf padahal yang dimaksud adalah balig. Ada pula orang lain yang menyebut kata baligh, padahal yang ia maksud adalah mukallaf. Hal yang cukup menggembirakan adalah, pengetahuan masyarakat tentang baligh sudah cukup baik. Warga di kampung kami, misalnya, umumnya memahami baligh sebagai orang yang sudah dewasa. Pengertian ini tidak salah dan sudah mendekati kebenaran. Dalam pandangan fikih, secara tegas baligh adalah kondisi di mana seseorang sudah mencapai usia dewasa secara biologis. Titik tekan dalam fikih ini adalah kedewasaan secara biologis yang lazimnya ditandai dengan berfungsinya organ reproduksi secara sempurna. Kesempurnaan ini bisa dilihat dari beberapa tanda fisik dan psikis. Bagi perempuan, ovarium sudah bisa memproduksi sel tel

Perkenalkan, #SalamTurots

Bocah cilik berbaju sederhana itu duduk di pojok belakang, di belakang santri-santri senior yang khusuk mengaji.  Ketika santri-santri senior sibuk mencatat petuah Guru, bocah cilik itu malah asyik bermain.  Telunjuk dan jempol tangan kanan menari di atas telapak tangan kiri, seolah-olah sedang menulis meskipun tanpa pena, tanpa tinta.  Sementara itu, sang Guru sedang mendedahkan kitab Muwatha, salah satu magnum opus -nya kepada seluruh santri.  Diam-diam, Sang Guru memperhatikan bocah cilik itu. Batinnya, anak itu sedang bermain di sini.   Hari keesokannya, Imam Malik, sang Guru kembali mendapati bocah cilik yang sama, duduk di tempat yang sama, kembali bermain jari.  Penasaran, sang Guru memanggil si bocah cilik tadi.  "Siapa namamu, Nak?", tanya sang Guru. "Muhammad bin Idris bin Syafi', Syaikh." "Kamu sedang bermain apa?"  'Saya mencatat pelajaran di telapak tangan kiri saya." "Mana penanya?" "Ini", bocah itu menunjukka

Napak Tilas Leluhur ke Mangunranan (4): Sayang Dirsan di antara Mangunranan dan Pekutan

  Makam Sayang Dirsan Kakung Setelah bertemu Lek Syapingi Mbah Muhyidin segera mengutarakan maksud. Bahwa saya ingin diantarkan untuk berziarah ke makam Mbah Buyut Madirsan. Saya tanya, " Lek Sapingi benjang saget ?"  "Wah, besok saya dodos pari. Tadi belum selesai." "Kalau sekarang pripun?" " Yo ra popo." Saya terus pamit mengantarkan Mbah Muhyidin pulang dan segera kembali ke rumah Lek Sapingi.  Bersama Lek Sapingi saya kembali ke pemakaman desa Mangunranan yang tadi.  Rupanya Mbah Buyut Madirsan dimakamkan hanya berselang 15 meter, timur pusara Mbah Buyut Sardini. Nisannya sudah sepuh. Makam Mbah Kakung nisannya utuh.  Sedangkan nisan Mbah Putri tampak seperti dipangkas agar ada tanda cekungan untuk menandai bahwa yang sumare adalah seorang perempuan.   Makam Sayang Dirsan Putri. * * *  "Iki sekare Sayang Dirsan Kakung. Iki Sayang Dirsan Putri", kata Lek Syapingi menunjukkan nisan sepuh.  Saya agak kaget kok dipanggil "Sayang Di

Doa Memulai Pengajian Al-Quran, Ilahana Yassir Lana

Berikut ini adalah doa yang biasa dibaca sebelum memulai mengaji al-Quran.  Ilaahana yassir lanaa umuuronaaa 2 x Min diininaaa wa dun-yaanaaa 2 x Yaa fattaahu yaa aliim 2 x Iftah quluubanaa 'alaa tilaawatil qur'aan 2 x Waftah quluubanaa alaa ta'allumil 'uluum 2x

Ringkasan Hasil-hasil Muktamar NU ke-33 di Jombang

بسم الله الرحمن الرحيم A. KOMISI BAHTSUL MASA`IL DINIYAH WAQI’IYYAH 1. Hukum mengingkari janji bagi pemimpin pemerintahan. Pertanyaan: 1) Bagaimana status hukum janji yang disampaikan oleh pemimpin pada saat pencalonan untuk menjadi pejabat publik, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif? 2) Bagaimana hukum mengingkari janji-janji tersebut? 3) Bagaimana hukum tidak menaati pemimpin yang tidak menepati janji? Jawaban: 1) Status janji yang disampaikan oleh calon pemimpin pemerintahan/pejabat publik, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif, dalam istilah Fiqh, ada yang masuk dalam kategori al-wa’du (memberikan harapan baik) dan ada yang masuk dalam kategori al-‘ahdu (memberi komitmen). Adapun hukumnya diperinci sebagai berikut: Apabila janji itu berkaitan dengan tugas jabatannya sebagai pemimpin rakyat, baik yang berkaitan dengan program maupun pengalokasian dana pemerintah, sedang ia menduga kuat bakal mampu merealisasikannya maka hukumnya mubah (boleh). Sebaliknya,

Napak Tilas Leluhur di Mangunranan (2): Mbah Muhyidin yang Masih Bugar di Usia Senja

Berbekal arahan dari Mbah-mbah di depan masjid tadi, saya menemukan rumah Mbah Muhyidin. Saya ingat-ingat, rumahnya tidak banyak berubah dari 15 tahun lalu.  Sebuah rumah joglo sepuh tapi masih kokoh soko-sokonya.  Sampai di sini rumahnya tertutup.  Saya tanya anak laki-laki di rumah sebelah.  Belakangan saya tahu anak lelaki ini bernama Pangi, cucu Mbah Muhyidin dari putranya, Lek Kus.  Ternyata Mbah Muhyidin tidak di rumah.  * * * Di rumah ada seorang anak perempuan. Saya tanya. "Mbah Muhyidin ada?" "Mbah lagi di sawah, Pak.", jawab anak perempuan itu. Ya sudah, kita kemudian ke sawah. Sekalian saya juga penasaran dengan kondisi sawah di Mangunranan.  Belakangan saya tahu, anak perempuan ini bernama Wulan, cucu dari Mbah Muhyidin. Kedua orangtuanya tinggal di Kalimantan. * * *  Di sawah sebelah kiri jalan tanaman jagung sudah tinggi dan menunggu waktu untuk segera panen. Wulan mencari Mbah Kakung, tapi tidak ketemu.  Wulan kemudian berlari ke sawah sebelah kanan j

IBA 03 Dialog di Tempat Parkir dalam Bahasa Arab

via IFTTT