Skip to main content

Bid'ah dalam Spektrum Bahasa

Catatan ini akan saya mulai dengan membincang bid’ah dalam lanskap bahasa yang digunakan bangsa Arab. Dalam hal ini, perlu dicatat, bahwa bangsa Arab adalah sebuah entitas yang sudah mewujud, ribuan bahkan jutaan tahun sebelum Islam hadir dibawa Kanjeng Nabi SAW pada abad ke-6 M.

Bahwa kata-kata bid’ah sudah digunakan dalam percakapan keseharian bangsa Arab, jauh sebelum Islam hadir. Hal ini berbeda dengan kata [n]a[b]i[y], yang berdasar data-data yang saya temukan, ternyata baru digunakan setelah Kanjeng Nabi hijrah ke Madinah. Sebelum ia hijrah, orang Arab biasa menggunakan terma [n]a[b]i[’].

Kata [n]a[b]i[’] ini diakhiri dengan hamzah di belakangnya. Tentu dengan pemahaman makna yang berbeda dengan apa yang kita pahami sekarang. Saya menuliskan sebuah riset dalam sebuah Jurnal di IAIN Walisongo Semarang mengenai perkembangan kata nabi ini. Jika ada yang minat terhadap jurnal tersebut, bisa menghubungi saya via e-mail pribadi.

Kembali ke persoalan bid’ah. Kata ini setelah saya rujuk ke beberapa kamus, seperti kamus Al-Munawwir, berasal dari derivasi fi’il madhi (past tense) [b]a[d]a[’]a. Sedang bentuk masdar ghairu miim-nya (gerund) adalah [b]a[d][’]an, yakni dengan harakat fathah pada ba’ [b], bukan tanda kasrah.

Setelah saya lacak pada beberapa literatur yang saya temui, ternyata kata [b]a[d]a[’]a memiliki beberapa bentuk masdar dalam format simaiy, tidak mengikuti wazan (barometer) yang lazim digunakan dalam disiplin filologi Arab (sharaf). Satu di antara yang banyak ditemui adalah [b]i[d][’]a[h].

Dengan demikian, kata [b]i[d][’]a[h] merupakan mashdar format sima’iy dalam bentuk feminin, yang ditandai dengan pemasangan atribut feminin beruba ta’ marbuthah [h]. Kata [b]a[d]a[’]a kemudian biasa diderivasikan ke dalam pelbagai bentuk lain, dengan penambahan pelbagai huruf atributif (huruf ziyâdah), seperti alif [] dan ta’ [t] menjadi [i][b][t]a[d]a[’]a, atau alif [], sin [s], dan ta’ [t], menjadi [i][s][t]a[b][d]a[’]a.

Itu tadi penjelasan kilat tentang kata [b]i[d][’]a[h] dan [b]a[d]a[’]a dalam filologi Arab yang saya pahami. Kalau ada rekan milister yang ingin memberikan penjelasan lebih lanjut dalam kajian ini, saya akan senang hati.

Selanjutnya, saya akan mengajak rekan-rekan milister untuk membincang [b]a[d]a[’]a dalam disiplin semantik Arab. Semoga penjelasan sederhana ini akan membantu. Dalam bahasa Arab, kata [b]a[d]a[’]a acap diasosiasikan dengan konsep ibtada’a asy-syaî’ atau “mencipta (dari sesuatu yang sebelumnya tiada)”. Ini satu makna yang saya tangkap dari pemaparan dalam kamus al-Munawir.

Ternyata saya juga menemukan konsep lain yang juga dijadikan asosiasi untuk kata [b]a[d]a[’]a, yakni atâ bi jadîd atau “memulai dengan hal baru”. Setelah kata [b]a[d]a[’]a diderivasi menjadi kata [i][s][t]a[b][d]a[’]a, kata ini berasosiasi dengan konsep “menganggap indah sekali”, atau “menakjubkan”.

Bentuk derivatif lain adalah [b]i[d][’]a[h]. Kata ini diasosiasikan dengan konsep mâ uhditsa lâ ‘alâ mitsâlin sâbiqin atau “segala sesuatu yang dihadirkan, tanpa ada penyerupaan dengan sesuatu yang sudah ada”. Sementara itu, ada pula yang mengasosiasikan dengan konsep “madzhab jadîd”, atau “mazhab baru”.

Menariknya lagi, saya menemukan kata yang dekat dengan kata itu, yakni [b]a[d]ii[’]. Kata ini, dalam tradisi sastra Arab yang berkembang sejak masa awal bangsa Arab ribuan tahun lalu, digunakan untuk mengasosiasikan konsep “disiplin sastra yang membincang dimensi estetik sebuah bahasa, dalam hal ini adalah bahasa Arab”.

Dalam disiplin ilmu Balaghah, terdapat tiga sub-disiplin yang dibahas, yakni ilmu [b]a[d]ii[’], ilmu bayân, dan ilmu ma’ani. Dalam tulisan ini, saya tidak akan memperpanjang pembahasan mengenai ketiga subdisiplin kajian ini. Saya hanya membincang [b]a[d]a[’]a dan [b]i[d][’]a[h] dalam perspektif kebahasaan yang saya pahami.

Ini adalah tulisan awal. Satu perspektif kecil tentang [b]a[d]a[’]a dan [b]i[d][’]a[h]. Nah, dari tulisan ringan ini, silahkan rekan-rekan milister memberikan masukan, sebelum kita membahas sisi lain [b]a[d]a[’]a dan [b]i[d][’]a[h].

Barangkali ada rekan yang menemukan hal berbeda dalam Lisân al-‘Arab atau Fiqh Lughah. Kebetulan, malam ini saya belum sempat membaca dalam dua literatur yang tebalnya beberapa jilid itu. Mohon dibagi-bagi kepada kami...

Comments

Anonymous said…
Semoga hari dinamit teman saya!.

Popular posts from this blog

Perbedaan Mukallaf dan Baligh dalam Fikih Islam

Terdapat dua istilah yang seringkali disebut tatkala membincang subjek hukum dalam fikih, yakni mukalaf dan baligh. Kedua istilah ini seringkali dianggap memiliki satu makna yang sama dan bisa saling substitusi. Terkadang seseorang menyebut mukalaf padahal yang dimaksud adalah balig. Ada pula orang lain yang menyebut kata baligh, padahal yang ia maksud adalah mukallaf. Hal yang cukup menggembirakan adalah, pengetahuan masyarakat tentang baligh sudah cukup baik. Warga di kampung kami, misalnya, umumnya memahami baligh sebagai orang yang sudah dewasa. Pengertian ini tidak salah dan sudah mendekati kebenaran. Dalam pandangan fikih, secara tegas baligh adalah kondisi di mana seseorang sudah mencapai usia dewasa secara biologis. Titik tekan dalam fikih ini adalah kedewasaan secara biologis yang lazimnya ditandai dengan berfungsinya organ reproduksi secara sempurna. Kesempurnaan ini bisa dilihat dari beberapa tanda fisik dan psikis. Bagi perempuan, ovarium sudah bisa memproduksi sel tel...

Napak Tilas Leluhur di Mangunranan (2): Mbah Muhyidin yang Masih Bugar di Usia Senja

Berbekal arahan dari Mbah-mbah di depan masjid tadi, saya menemukan rumah Mbah Muhyidin. Saya ingat-ingat, rumahnya tidak banyak berubah dari 15 tahun lalu.  Sebuah rumah joglo sepuh tapi masih kokoh soko-sokonya.  Sampai di sini rumahnya tertutup.  Saya tanya anak laki-laki di rumah sebelah.  Belakangan saya tahu anak lelaki ini bernama Pangi, cucu Mbah Muhyidin dari putranya, Lek Kus.  Ternyata Mbah Muhyidin tidak di rumah.  * * * Di rumah ada seorang anak perempuan. Saya tanya. "Mbah Muhyidin ada?" "Mbah lagi di sawah, Pak.", jawab anak perempuan itu. Ya sudah, kita kemudian ke sawah. Sekalian saya juga penasaran dengan kondisi sawah di Mangunranan.  Belakangan saya tahu, anak perempuan ini bernama Wulan, cucu dari Mbah Muhyidin. Kedua orangtuanya tinggal di Kalimantan. * * *  Di sawah sebelah kiri jalan tanaman jagung sudah tinggi dan menunggu waktu untuk segera panen. Wulan mencari Mbah Kakung, tapi tidak ketemu.  Wulan kemudian berlari ...

Doa Memulai Pengajian Al-Quran, Ilahana Yassir Lana

Berikut ini adalah doa yang biasa dibaca sebelum memulai mengaji al-Quran.  Ilaahana yassir lanaa umuuronaaa 2 x Min diininaaa wa dun-yaanaaa 2 x Yaa fattaahu yaa aliim 2 x Iftah quluubanaa 'alaa tilaawatil qur'aan 2 x Waftah quluubanaa alaa ta'allumil 'uluum 2x

Gaul Iya, Paham Islam Juga

"Ma...ma...af, sa...ya...nggak tahu, Pak" Jawaban grogi seperti itulah barangkali yang kamu berikan kala ditanya gurumu: Apakah zakat itu? Gimana menyalurkannya? Mengapa kita musti beribadah? Apa sajakah ibadah itu? Dan seterusnya. Dan sebagainya. Ataukah dengan pedenya kamu tetep ngejawab atas ketidaktahuanmu? Janganlah yaw! Malu-maluin... Pertanyaannya kemudian, kenapa kita tidak tahu, padahal kita mengaku muslim sejati? Hayo... Kenapa? Mungkin, di antara kamu ada yang ngejawab, "Nggak ada waktu untuk belajar agama." Atau, "Mata pelajaran agama di sekolah ngebosenin, monoton, dan gurunya killer abis". Boleh jadi yang disampaikan di sekolah atau pengajian saat bicara agama pasti mengarah ke surga atau neraka. Iya, kalau kita punya tabungan banyak ibadah karena ngerti caranya, kita bisa pegang tiket ke surga. Lha kalau kita banyak dosa? Atau, kita tidak shalat misalnya dengan alasan aneh: karena tidak bisa. Apa tidak repot? Belum lagi jika belajar a...

Menggugat keadilan dalam poligami

DALAM perkawinan kebahagiaan adalah tujuan utama. Namun, kata pepatah, jalan tak selamanya bertabur bunga. Ada kalanya bertabur kerikil tajam, duri di jalan. Salah satu problem yang kadang dihadapi adalah belum adanya keturunan. Dunia terasa hambar. Karena anak tak sekedar calon penerus gen. Ia adalah cahaya dan perekat keluarga. Sebuah artikel anonim yang penulis temukan di mesin Google menuturkan. "Bila sang buah hati belum hadir, cintailah pasanganmu 100 persen". Ini teorinya. Tapi, boleh jadi hasrat menimang putera jauh lebih hebat. Hingga tak jarang, biduk keluarga retak dan terancam kelangsungannya. Problem ini menjadi salah satu dari tiga alasan pengadilan membuka pintu poligami dalam UU No. 1/1971 tentang Perkawinan (UUP) pasal 4 ayat (2). Problem lain adalah istri tidak dapat menjalankan kewajiban; dan istri mendapat cacat badan atau penyakit lain yang tidak bisa disembuhkan. Poligami ini demi keutuhan rumah tangga. Syarat adil Seorang lelaki yang hendak mengajuka...

Ringkasan Hasil-hasil Muktamar NU ke-33 di Jombang

بسم الله الرحمن الرحيم A. KOMISI BAHTSUL MASA`IL DINIYAH WAQI’IYYAH 1. Hukum mengingkari janji bagi pemimpin pemerintahan. Pertanyaan: 1) Bagaimana status hukum janji yang disampaikan oleh pemimpin pada saat pencalonan untuk menjadi pejabat publik, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif? 2) Bagaimana hukum mengingkari janji-janji tersebut? 3) Bagaimana hukum tidak menaati pemimpin yang tidak menepati janji? Jawaban: 1) Status janji yang disampaikan oleh calon pemimpin pemerintahan/pejabat publik, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif, dalam istilah Fiqh, ada yang masuk dalam kategori al-wa’du (memberikan harapan baik) dan ada yang masuk dalam kategori al-‘ahdu (memberi komitmen). Adapun hukumnya diperinci sebagai berikut: Apabila janji itu berkaitan dengan tugas jabatannya sebagai pemimpin rakyat, baik yang berkaitan dengan program maupun pengalokasian dana pemerintah, sedang ia menduga kuat bakal mampu merealisasikannya maka hukumnya mubah (boleh). Sebaliknya,...

Lebaran di Saudi dan Indonesia Berbeda, Kita Ikut Mana?

Lebaran di Saudi dan Indonesia Berbeda, Kita Ikut Mana? Pada mulanya begini. Lebaran Idul Fitri ataupun Idul Adha adalah ibadah yang terikat dengan sebab. Untuk Idul Fitri, sebabnya adalah masuknya tanggal 1 Syawal. Sedangkan untuk Idul Adha sebabnya adalah masuknya tanggal 10 Zulhijjah. Dari sini kita jadi tahu bahwa pokoknya ada pada sebab yakni peredaran bulan. Nah, peredaran bulan ini unik, karena ia terikat dengan perbedaan titik geografis (beda garis lintang dan bujur) pengamat di muka bumi. Pasti sering dengar kan informasi begini. Di Aceh ketinggian hilal sudah 2', tetapi di Poso masih 1', sedangkan di Jayapura malah masih -1". Sedangkan di Kairo sudah 3'. Di Aceh sudah bisa lihat hilal, tapi di Kalimantan belum. Di Baghdad sudah bisa lihat hilal, tapi di New Delhi belum. Perkara ini selalu terjadi setiap awal bulan dalam kalender Hijriah. Lalu bagaimana cara mengambil kesimpulan hukum dari peristiwa ini?  Para ulama klasik membuat batasan geografis keberlakuan...