Manusia bukanlah makhluk yang independen. Ia tergantung pada banyak hal
yang ada di luar dirinya (liyan). Saat
lahir, ia tak ubahnya seperti “telur pecah”, yang tak punya daya untuk
melakukan apa pun, bahkan untuk mempertahankan dirinya. Yang bisa dilakukannya
hanyalah menangis. Sehingga, pada titik ini, seorang manusia membutuhkan
bantuan untuk bertahan hidup dari orang-orang sekelilingnya. Fisik manusia juga
terbatas dan amat tergantung pada banyak hal: makanan, pakaian, tempat tinggal,
kasih sayang, dan sebagainya.
Manusia secara terus-menerus bergantung agar ia bisa bertahan hidup dan
mengembangkan kehidupannya. Dan, jumlah manusia dari waktu ke waktu terus
bertambah. Di sisi lain, sumber daya alam pemenuhan terbatas, baik jumlah dan
waktunya. Sebab itu, manusia perlu melakukan pelbagai upaya, mulai dari
pemberdayaan dan pembudidayaan sumber daya pemenuhan (dengan bertani, beternak,
dsb).
Ketika ia melakukan pemberdayaan dan pembudidayaan, maka ia mengalami
surplus atas sumber daya, dan defisit sumber daya yang lain. Karena, kebutuhan
manusia tidak hanya satu macam saja. Seorang petani membutuhkan garam untuk
memasak dan pakaian dari kulit binatang atau bulunya. Seorang petani garam atau
nelayan memiliki banyak garam dan ikan, tapi ia tidak punya beras atau hasil
bumi. Penggembala surplus kulit hewan atau bulu biri-biri yang bisa dijadikan
pakaian, tapi ia tidak bisa memproduksi hasil bumi dan garam atau ikan. Ketiga
person ini bisa memenuhi segala kebutuhannya dengan melakukan pertukaran atau
barter dalam bentuk yang sederhana.
Ketika jumlah orang kian bertambah, maka lalu lintas barter semakin marak dan barter lalu dinilai tidak efektif dan efisien. Dibuatlah uang sebagai alat tukar. Mulanya, mata uang terbuat dari logam mulia: emas dan perak. Dari waktu ke waktu, produksi emas juga terbatas dan dinilai kurang praktis. Maka, dibuatkan kertas yang tertulis nominal tertentu sebagai mata uang/alat tukar.
Makin kompleksnya sebuah transaksi, makin banyak permasalahan yang muncul.
Untuk itu, diperlukan seperangkat aturan yang mengatur. Mulanya aturan yang
dibutuhkan amat sederhana: apa yang baik dan tidak, apa yang diperbolehkan dan
tidak, apa yang etis dan tidak. Di sini, etika sebagai sebuah standar dalam
mengukur sebuah tindakan diperlukan. Etika bisa bersumber pada hati nurani,
teks suci, atau pada perikatan dan aturan yang berlaku di komunitas atau
masyarakat tertentu.
Desire/Nafsu
Meminjam pemahaman Michel Foucault, tubuh manusia selalu dikuasai liyan (others)
yang bisa mewujud dalam aturan-aturan tertentu, etika, norma, agama, hukum, dan
semacamnya, bahkan kemampuan fisik manusia juga membatasi tubuh itu sendiri.
Seperti, beban tubuh saya yang ini membatasi saya untuk sampai ke kampus dari
kos. Karena selepas pulang kerja, pukul 16:00 WIB, misalnya, pada saat yang
sama perkuliahan di kampus sudah dimulai.
Atas kondisi ini, ada dorongan dalam tubuh saya untuk mengatasi segala
kuasa atas dan keterbatasan pada tubuh saya ini. Dalam kasus ini, secara
semiotik saya membutuhkan sebuah kendaraan yang akan memperpanjang tubuh saya,
sekaligus melipatgandakan kekuatan dan daya jangkau tubuh saya yang terbatas
ini untuk bisa mencapai kampus dengan waktu sesingkat mungkin. Di sinilah desire/hasrat/nafsu
ini hadir.
Dalam kasus ini, saya membutuhkan kendaraan yang bisa —meminjam ungkapan
Yasraf Amir Piliang—melipat jarak tempuh dari kos ke kantor yang 4 km itu. Atas
kalkulasi ini, maka kehadiran sepeda onthel bagi saya saat ini adalah
kebutuhan minimal saya. Dengan menggunakan sepeda onthel, dengan
kecepatan rata-rata 16 km/jam, saya membutuhkan 15 menit untuk sampai ke
kampus.
Dengan waktu yang ada, tampaknya kemampuan sepeda onthel saya untuk
melipat jarak belum maksimal, saya membutuhkan kendaraan yang jauh lebih cepat,
misalkan sepeda motor, mobil, atau bahkan pesawat terbang. Tapi untuk yang
terakhir ini secara logis bisa terpatahkan, karena saya harus ke bandara yang
berjarak 7 km dari kos, dan ini tidak efektif.
Saat berkendara dengan sepeda onthel, seringkali tubuh saya yang
terbatas ini terkena debu, asap knalpot, cucuran air hujan, atau bahkan
cipratan air di jalanan, yang bisa mengotori pakaian dan tubuh saya. Untuk itu,
saya ingin agar tubuh saya ini dilengkapi dengan pakaian yang lebih luas agar
terlindung dari gangguan tadi. Maka, saya perlu sebuah mobil taruhlah sedan
untuk itu.
Tapi, pertanyaannya kembali kepada diri saya sendiri, apakah saya mampu
memenuhi hasrat saya tadi? Tubuh saya mendorong saya untuk melakukan upaya
untuk memenuhi hasrat tadi dengan misalnya, membeli sebuah sedan Toyota Crown,
yang sekarang biasa dipakai para pejabat kita, misalnya. Lalu, bagaimana dengan
kemampuan finansial saya? Jika saya tidak mampu memenuhinya, apa yang harus
saya lakukan?
Di sebelah kiri saya, makhluk merah berekor dan bertanduk berbisik, “Udah, ngrampok
saja.” Atau sesekali agak kalkulatif, “Minta sama Ayah saja. Kalau tidak bisa
beli cash, ya kredit saja.”
Kendali Hasrat
Jika kita turuti terus-menerus, maka persoalan hasrat (desire/nafsu)
tak akan ada habisnya. Dan, jika tidak —meminjam ungkapan Foucault—
didisiplinkan dengan baik, maka hal ini justru bisa menjauhkan diri saya
sendiri dari tujuan yang hendak saya capai, atau objek yang saya hasrati (desiring
goods), dan saya kehilangan sisi kemanusiaan diri saya sendiri, misalnya.
Pendisiplinan ini bisa dilakukan baik dengan penundukan diri kepada kuasa
liyan, atau dengan melakukan kendali hasrat (kuasa diri; semacam self power).
Pada titik inilah, etika sebagai sistem liyan kendali atas tubuh menemukan
urgensitasnya. Pendisiplinan dengan menggunakan etika ini bisa berwujud norma,
kesantunan atau kesopanan, hukum, agama, dengan pada prinsipnya memberikan
standar mana yang baik dan buruk, mana yang adil dan tidak.
Tapi, kadangkala kuasa liyan ini kalah kuat melawan kuasa dalam diri.
Inilah yang menyebabkan pemberontakan tubuh semakin menjadi-jadi. Sebab itu,
yang bisa dilakukan dengan baik adalah mendisiplinkan diri dengan memperkuat
kendali hasrat secara logis rasional. Hal ini bisa membawa manusia pada
pembebasan spirit dari tubuh yang terbatas tadi dengan segala bebannya,
sekaligus bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dengan baik.
Dalam kasus seorang saya yang berangkat ke kampus tadi, dengan timbangan maslahat
(meminjam istilah Jeremy Bentham dan John Stuart Mill: utility) kita
bisa memilah mana yang keinginan semata (want) dan mana yang kebutuhan (need);
mana yang maslahat dharury, hajyi, dan tahsini. Dalam
kasus tadi, saya harus sampai di kampus secepatnya, maka, saya membutuhkan
kendaraan untuk memperluas jangkauan kuasa tubuh, sekaligus melipat waktu dan
jarak. Maka, kebutuhan minimal saya adalah sepeda onthel, yang dengannya
saya bisa sampai di kampus secepat mungkin (baca: tidak terlalu terlambat).
Saya bisa menggunakan pertanyaan terbalik untuk mengujinya: apa yang
terjadi jika saya tidak menggunakan sepeda onthel? Saya bisa terlambat
kuliah sampai 1 jam. Ini artinya, sama halnya saya tidak kuliah. Sebab itu,
sepeda onthel adalah kebutuhan (need) bagi saya. Bagaimana dengan
bus transjogja? Saya bisa menggunakannya, tetapi waktu yang diperlukan adalah
45 menit, karena rutenya berputar lewat Jln Pangeran Senopati, perempatan
Wirobrajan, Samsat, dan Tugu baru ke Jalan Cik Di Tiro. Jelas, ini tidak maslahat dharuri
bagi saya dan karenanya bukan kebutuhan (need).
Bagaimana dengan sepeda motor? Sepeda motor memang bisa melipat lebih
ramping jarak dan waktu tempuh, setingkat di atas sepeda onthel. Dalam
hal ini, sepeda motor bagi saya termasuk maslahat hajyi. Sayangnya, perkuliahan
aktif saya di kampus tinggal menghitung bulan. Setelah itu, saya mengerjakan
tesis yang kemungkinan besar mengambil sampel di luar Jawa. Jadi, sepeda motor bagi
saya, dalam jangka panjang malah mubazir.
Lalu, bagaimana dengan mobil? Tanpa mobil, saya bisa sampai ke kampus
dengan lebih cepat, sebab laju maksimal mobil juga terbatas, karena ia
terhambat keterbatasan ruas jalan dan marka jalan. Lagi pula, transaksi untuk
mobil saat ini bagi saya belum memungkinkan. Sebab itu, mobil bagi saya saat
ini hanya masuk dalam maslahat tahsini, kalau bukan malah madharat.
Disiplin Etika
Nah, dari tamsilan sederhana di atas, etika diperlukan untuk mengukur, mana
yang baik dan tidak. Etika sebetulnya masih terdapat dalam ruang pribadi, tidak
masuk ke dalam ruang publik. Tapi ia bisa masuk ke dalam ruang publik ketika
kita sudah bersinggungan dengan pihak lain, misalnya: dalam pemenuhan kebutuhan
saya akan sepeda onthel tadi, dengan meminjam milik kawan, menyewa,
barang gadaian, jaminan utang kawan, titipan tetangga, atau membeli di toko.
Pendisiplinan etika ini perlu dilakukan agar manusia, dalam memenuhi segala
kebutuhannya tidak mengganggu orang lain, karena seperti disebutkan di muka,
manusia tidak mau dirinya terganggu. Hal ini sesuai dengan the golden rules.
Dan, demi terpenuhinya etika ini, beberapa pakar melakukan kajian serius, baik etika
sebagai cabang filsafat, atau etika sebagai disiplin keilmuan tersendiri, atau
untuk membangun disiplin keilmuan tertentu.
Etika, dalam Islam biasa dikenal dengan akhlak. Akhlak ini dalam beberapa
sisi dikembangkan dalam bentuk parafrase, ucapan, kata mutiara, atau kaidah.
Dalam ushul fikih, kita mengenal qawaidul fikih, atau kaidah-kaidah
fikih. Semua kaidah tersebut pada prinsipnya merupakan representasi etika,
terutama kaidah lima yang utama (qawaidul khamsah). Misalkan, kaidah al-umuuru
bimaqaasidiha. Segala sesuatu bergantung pada niatnya. Kita mengambil
sepatu kawan di masjid itu bisa bermakna ibadah, jika niatnya menyelamatkan
sepatu tsb agar tidak kehujanan. Tapi bisa menjadi delik pencurian, ketika itu
kita berniat untuk memiliki.
Sama halnya dengan kaidah ad-dhararu yuzaal, maka apa pun yang
dilakukan, ketika menimbulkan mafsadat itu harus dihilangkan. Seperti,
transaksi atas barang yang belum jelas wujudnya, laiknya menjual anak kambing
yang masih dalam kandungan atau menjual kacang yang masih dalam tanah, ini
diharamkan, dan dalam fikih konsekuensi yang ditanggung adalah:
akadnya/transaksi tsb tidak sah.
Demikian juga dengan kaidah dar’ul mafasid muqaddam ala jalbil mashalih.
Misalkan kasus seorang saya yang hendak memperluas dan melindungi tubuh dari
sengatan matahari, asap knalpot, cucuran air hujan, atau cipratan air di jalan,
lalu membeli mobil. Dalam hal ini, dengan membeli mobil, saya memang bermaksud
meraih kemaslatan, tapi sayangnya, di balik itu ada kemudaratan, ketika
kemampuan finansial saya belum mendukung, karena setelah saya membeli, saya
belum bisa melunasi angsuran mobil dan Bank bisa menyita sebagian besar aset
saya yang belum seberapa itu.
Maka, dar’u mafasid (mencegah kemudaratan) yang lebih besar, yakni
penyitaan aset-aset saya, harus diutamakan ketimbang memperoleh kemaslahatan
(perlindungan tubuh dari kuasa luar) tadi. Meskipun transaksi yang saya lakukan
atas pembelian mobil itu secara fikih/hukum positif sah, tapi secara etis tidak
sah, karena kemudaratan yang ditimbulkan pasca transaksi tsb jauh lebih besar
ketimbang maslahatnya. Toh saya masih bisa menggunakan jaket, masker, helm, dan
jas hujan untuk melindungi tubuh.
Di sinilah, pada beberapa sisi, etika menuntut adanya formalisasi dalam
bentuk yang lebih tegas, seperti hukum haram atau tidak sah dalam fikih, atau
batal demi hukum dalam hukum positif, seperti dalam kasus transaksi janin
kambing yang masih dalam kandungan di atas. Formalisasi etika ini, ketika tidak
paham akan spirit yang ada di dalam prinsip-prinsip etika, kita bisa terjebak
pada pemahaman yang sempit.
Seperti dalam kasus pembelian mobil tadi. Secara fikih dan hukum positif,
transaksi tsb sah-sah saja. Tapi, secara etis, tampak jelas betapa transaksi
tsb menyimpan madharat yang cukup besar. Sehingga, dalam tahap tertentu,
formalisasi atau —meminjam istilah Michel Foucault—pendisiplinan etika yang
mengambil bentuk pendisiplinan tubuh itu perlu dilompati. Karena, ada
kemaslahatan yang lebih besar di sana. Meminjam ungkapan Jalaludin Rahmat, Dahulukan
Akhlak di atas Fikih.
Begitulah esai sederhana ini dibuat. Semoga bermanfaat. Allah A’lam
[]
Bacaan
Al-Syathibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al Ahkaam juz 2, (Beirut: Dar
el-Kutub, tt)
Dahlan, Abdul Aziz (ed.) Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar
Baru van Hoeve, 2000)
Danesi, Marcel, Message, Sign, and Meaning, Toronto: Canadian
Scholar Press, 2004
Foucault Michel, Power/Knowledge, The Harvester, 1980
Haq, Abdul dkk, Formulasi Nalar Fikih; Telaah Kaidah Fikih Konseptual
Buku Satu, (Surabaya-Kediri: Khalista-Kaki Lima, 2006)
Khalaf, Abdul Wahab, ‘Ilmu Ushul Fikih, (Kairo: Dar alQalam, 1978)
Piliang, Yasraf Amir, Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas
Kebudayaan, Yogyakarta: Jalasutra, 2004
Piliang, Yasraf Amir, Post-Realitas, Realitas Kebudayaan dalam Era
Post-Metafisika, Yogyakarta: Jalasutra, 2010
Rahmat, Jalaludin, Dahulukan Akhlak di atas Fikih, Bandung: Mizan,
2007
Yasid, Abu, Islam Akomodatif, Rekonstruksi Pemahaman Islam sebagai Agama
Universal, (Yogyakarta: LKiS, 2004).
M. Nasrudin
Mahasiswa Magister Hukum UII Yogyakarta
Comments