“Bukan membaca di sepanjang baris, melainkan membaca di antara baris.” Begitu kata Fung Yulan, seorang filsuf Tiongkok kontemporer, tatkala memberikan wejangan, apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang yang hendak mempelajari filsafat Tiongkok. Karena, para filsuf Tiongkok tidak menuliskan apa yang dikatakan, melainkan menulis apa yang dipikirkannya.
Kutipan di atas penulis temukan saat menyunting naskah Sejarah Filsafat Tiongkok. Naskah ini ditulis oleh Budiono Kusumohamidjojo, seorang pengajar Filsafat Tiongkok di Universitas Parahyangan. Dari wejangan Fung Yulan di atas, kita akan menemukan karakter yang berbeda antara filsafat Tiongkok (baca: filsafat Timur) dengan filsafat Barat.
Filsafat Barat, berlandas rasio, riuh menyuarakan apa yang mereka baca dan tulis. Sedang filsafat Timur membaca dalam senyap, apa yang tak-tertulis dan tak-terkatakan. Filsafat Barat menitikberatkan pada kebebasan dan penghargaan (berlebih) pada individu. Dan saat bersihadap, maka tiap-tiap individu menuntut eksis: terjadilah kompetisi, survival of the fittes. Sebaliknya, filsafat Timur menekankan komunitas. Sehingga, kuatlah kerja sama.
Kutipan di atas ini menarik, bukan hanya karena saat ini Tiongkok sedang mengalami masa perkembangan yang luar biasa, melainkan lebih sebagai bahan bacaan dan becermin, bahwa ternyata, ada yang berbeda dalam paradigma dasar bangsa Timur dan Barat. Tidak hanya Tiongkok, karena Timur juga melingkup Asia. Maka tidak mengherankan, karakter ini kemudian bisa dirasakan pada hampir seluruh tradisi agama dan kepercayaan di Asia.
Bagaimana dengan Islam? Apakah Islam memiliki corak ketimuran? Mari kita diskusikan. Islam menghapuskan perbudakan dan memberikan tempat istimewa terhadap perempuan, yang sebelumnya di dunia Arab tak dihargai sama sekali. Tapi apakah dengan demikian, Islam terfokus pada individu? Nanti dulu. Islam juga memberi penghargaan yang lebih utuh terhadap komunitas.
Tampaknya kita perlu mengintip ungkapan Imam Ali bin Abu Thalib kw. “Tiada Islam, melainkan dengan jamaah (komunitas). Tiada jamaah, tanpa kepemimpinan. Tiada kepemimpinan tanpa ketaatan.” Di sini, Imam Ali menyebut Islam menggunakan konsep jamaah/umat untuk merujuk pada komunitas. Nabi Muhammad saw mengumpulkan yang terserak dari pelbagai suku bangsa yang tersebar di sekitar Jazirah Arab, hingga kemudian membentuk masyarakat yang satu: umat.
Masyarakat Arab, seperti ditulis para peneliti laiknya Philip K. Hitti dan Karen Armstrong, memang memiliki komunalitas yang kuat, tapi loyalitas mereka terletak pada kelompok (qabilah) kecil. Dan, bila mereka bersinggungan dengan kelompok lain, perjumpaan lebih banyak berbentuk peperangan dan permusuhan. Dan Muhammad SAW sukses mendamaikannya, terutama dengan Piagam Madinah yang mendamaikan permusuhan suku Aus dan suku Khazraj yang sudah berlangsung ratusan tahun.
Kesab(d)aran Barat
John Naisbit, penulis Megatrends menuturkan bahwa Timur memiliki kekuatan yang luar biasa dalam hal kesintasan, karena mereka mendasarkan diri pada kerja sama, di mana individu-individu bahu-membahu mempertahankan dan mengembangkan eksistensi. Jazirah Arab adalah gurun pasir yang kering-tandus, tak banyak tanaman yang bisa bertahan hidup. Tapi dari sanalah kebudayaan Islam dibangun, dengan kerja sama di bawah panji Islam bersama Nabi Muhammad SAW.
Timur, yang diperkuat dengan tradisi keagamaan, juga memiliki jawaban yang memuaskan atas kegagalan proyek modernisme ala Barat. Kegagalan ini terjadi lantaran modernisme ala Barat terlalu memandang manusia dalam frame fisik semata, lepas dari dimensi spiritualitas. Dan Timur melengkapinya saat manusia Barat menjadi kering. Itulah kenapa, dalam satu dekade belakangan, terjadi gerakan religiusitas di Barat. Yoga, Budisme, dan Tarekat marak.
Secara mengejutkan pula, buku-buku yang mengadopsi nilai-nilai Timur, meski tidak secara eksplisit menyebut Timur, laris manis di Eropa dan Amerika. Tengok, misalnya Malcolm Gladwell, penulis buku-buku berspirit Timur. Dalam What The Dog Saw, Gladwell menulis, “Siapa yang bisa disalahkan atas ledakan Challenger? Tak seorang pun, dan kita mesti terbiasa dengan itu.”
Ada sebuah titik harmoni (yang begitu akrab bagi orang Timur) yang coba Gladwell tawarkan melalui bukunya itu. Di titik ini, kita tidak selalu berkompetisi untuk menjadi yang terbenar sembari menunjuk hidung lain sebagai kambing hitam. Titik di mana kita harus terbiasa dengan kejadian-kejadian yang terjadi di luar prediksi dan kemampuan manusia untuk mencegahnya. Titik di mana kita harus bisa menyesuaikan diri dan menyintas dengan kondisi-kondisi tersebut.
Dalam Islam, terutama dalam tradisi tasawuf, kita mengenal beberapa konsep yang merujuk pada titik harmoni: qana’ah dan sabar. Qana'ah adalah situasi di mana seorang salik (penempuh jalan tarekat) berusaha menerima apa yang terjadi, di luar kemampuan dirinya untuk melakukan penolakan atasnya.Qana’ah bukanlah pasrah total, karena di sana ada usaha untuk memperbaiki kondisi diri, dan terus berjalan dalam titik harmoni. Ia mengekang nafsu untuk memiliki apa yang bukan menjadi haknya.
Demikian halnya sabar. Sabar bukanlah pasrah dalam diam. Lebih dari itu, sabar adalah kerelaan hati untuk melakukan introspeksi diri dalam apa yang disebut Al-Gazali sebagai sebentuk pengendalian diri. Dalam sabar sendiri, masih menurut Al-Ghazali, terdiri atas tiga hal: ilmu, hal, dan amal. ilmu di sini adalah sebuah kondisi seseorang yang sadar atas apa yang terjadi di sekitar. Ia sadar pula atas apa yang terjadi pada dirinya dan atas tindakannya. Sadar pula atas manfaat yang diperoleh saat ia melakukan sikap sabar.
Kesadaran ini membutuhkan pemahaman yang luas lagi terbuka. Mengutip Fung Yulan di atas, kita harus membaca segala yang ada di antara baris, bukan membaca di sepanjang baris tersebut. Karena, segala adalah tanda (sign, Arab: ayat), dan tanda akan bermakna, hanya jika ia memiliki referen. Jika kita hanya fokus pada barisnya saja, kita tidak akan pernah mendapatkan pengetahuan (referen) yang luas. Apalagi, jika baris tersebut adalah tentang atau bernilai negativitas, keburukan, kesialan, atau ketidakmujuran.
Karena, “jika kita fokus pada negativitas yang terjadi di sekitar kita, maka kita hanya akan terjebak pada, dan kian tenggelam dalam negativitas tersebut”, begitu kira-kira kata Budha. Kita hanya akan bisa mendapatkan nilai dan pengetahuan yang lebih sempurna, tatkala kita mengalihkan pandangan pada apa yang ada di antara baris (baca: negativitas). Makin banyak teks luar yang digunakan, makin kaya makna yang ditampilkan.
Kembali pada pandangan al-Ghazali tadi, setelah mendapatkan pemahaman yang luas dan utuh, maka kondisi psikis dan fisik yang sabar kemudian mewujud dalam bentuk hâl (sikap). Sikap ini kemudian membuahkan tindakan (amal). Al-Ghazali mengamsalkan ilmu tadi sebagai batang, hâl sebagai batang, dan amal sebagai buah. Dan, buah ini akan bermanfaat, tidak hanya bagi si pelaku saja, melainkan juga terutama bagi lingkungan.
Sebuah pendapat menarik dikemukakan oleh Syeikh Abdus Shomad al-Palimbani, seorang pemuka agama di Mekkah asal Palembang. Ia mengklasifikasikan sabar ke dalam tiga stratifikasi: (i) sabar orang awam (tasabbur), yakni menanggung kesakitan dan kesusahan dalam menerima hukum dan ketentuan Allah, (ii) orang yang menjalani tarekat, terbiasa dengan bersifat sabar, (iii) orang yang sabar dan juga arif atas segala yang diberikan Allah kepadanya baik berupa nikmat maupun berupa ujian. Jelas,arif hanya mungkin terwujud dalam keluasan pikiran dan perspektif.
Terorisme Timur
Sekarang, bagaimana dengan terorisme yang belakangan menguat lagi, dengan lagi-lagi menggunakan jihad sebagai dasar? Meminjam timbangan di atas, maka pernyataan yang sulit untuk ditolak adalah bahwa mereka hanya membaca sepanjang baris teks jihad. Para teroris tidak mau membaca di antarabaris teks jihad, baik al-Qur’an maupun al-Hadits.
Tampak jelas pula, sikap (hâl) yang ditunjukkan, adalah kebencian kepada orang lain. Mereka fokus pada titik individu, bahwa diri dan pemahamannya paling benar. Mereka abai pada sisi komunitas (umat) —yang dianggapnya salah. Buktinya, banyak umat Islam yang menjadi korban bom yang mereka ledakkan. Dan, mereka mengabaikan kerja sama, serta lebih memilih sikap kompetisi (baca: konfrontasi) dengan umat Islam secara umum, dan umat lain.
Dengan demikian, sulit untuk tidak mengatakan bahwa mereka sedang mengalami keterlepasan dari kultur dasar yang melahirkan dan membesarkan mereka. Di sisi lain, teror tersebut tampak sebagai bentuk frustrasi atas kondisi (baca: baris) yang terjadi. Sulit untuk tidak mengatakan bahwa para teroris tersebut sekali lagi membaca fenomena hanya sepanjang baris, lalu menutup diri untuk membaca fenomena di antara baris.
Dan jika ditarik ke dalam filsafat Tiongkok, maka pembacaan mereka (baik terhadap realitas maupun terhadap teks suci [an-nushush al-muqaddasah) bukanlah pembacaan dalam senyap dan mendalam. Pembacaan mereka riuh oleh kemarahan dan frustrasi. Sulit untuk tidak mengatakan bahwa pembacaan model semacam ini salah tempat. Teks yang luas makna, kemudian dikerdilkan hanya pada garisnya saja.
Nah, dari sini, kita bisa melihat, bahwa pembacaan adalah sebuah kerja humanitas yang luas. Ia melibatkan segalanya: sikap, pemahaman kondisi lingkungan, ketenangan, juga kesediaan diri untuk memahami intertekstualitas. Menariknya, hal ini sudah dicapai oleh filsafat Tiongkok, meski mereka belum mengenal Islam. Boleh jadi, ini menambah daftar jawaban atas pertanyaan: Mengapa Nabi menyuruh umatnya untuk menuntut ilmu walaw bis-shiin (meski ke negeri Tiongkok)? Allah a’lam.
M. Nasrudin
Perajin Buku di Jalasutra. Bergiat di Komunitas Obrolan Wijilan.
Sumber: Majalah Inspirasi, edisi April-Mei 2010. Rubrik Interrelijius.
Comments