Akeh alim fasik niru saiki zaman/ podo dadi penghulu
maha kedosan//
Buru artha haram duniane kaluhuran/ ikulah kena fitnah
dunia kefasikan//
Tan ngistuaken ing syara’ pinuturan/ setengahe tan asih
ridho ing pe[me]rintahan//
(KH. Ahmad Rifa'i Kalisalak,
Manuskrip Tabyin al-Islah: 179-180)
GERAKAN PROTES. Inilah yang dilancarkan Kyai Rifa'i, Pahlawan Nasional yang menyulut
dan mengobarkan perlawanan pada 1850-an di dusun Kalisalak di pelosok Alas
Roban, (kini, Kec. Limpung, Kab Batang, Jawa Tengah). Yang ia hadapi bukanlah
seorang tiran, dengan pedang terhunus, melainkan sistem: sistem Kolonial yang
juga mencipta Kapengulon.
Keduanya
berkelit kelindan pada sebuah hasrat hegemoni atas jiwa dan kekayaan Nusantara
yang (masih) jadi primadona dunia, utamanya bagi Eropa. Sistem kolonial
menghadirkan tatanan dunia pemerintahan baru atas bangsa kulit berwarna. Di
balik sana, kuku-kuku panjang tajamnya meruncing, merenggut siapapun yang
memekikkan “Jangan!!”, “Lawan!”. Belalai besar rakus menghisap nektar pertiwi.
Berbilang
putera Bunda Pertiwi rela menanggalkan wadag tubuh dalam sebuah pesta yang oleh
sistem, diberi label pemberontakan! Bukan! Bukan pemberontakan, yang sejatinya
terjadi. Di situ ada permainan bahasa: pemberontak dan pahlawan; jantan dan
pengecut; pribumi dan asing. Masing-masing berebut untuk dilekatkan pada diri
yang tak berbeda: satu!
Pahlawan dan
pemberontak sejatinya tak lain ketimbang membuka medan baru: medan pertarungan
bahasa. Ia memiliki medan yang berbeda, di dalam batok kepala setiap insan di
hamparan kepulauan Nusantara. Sedang di luar sana, senjata dan aroma mesiu
menyalak, nyinyir darah bertaburan, lalu malaikat maut berpesta pora, menikmati
sajian keserakahan yang melebur.
Sistem kedua
yang dilawan Kyai Rifa'i kala itu adalah sistem Kapengulon. Sebentuk sistem
yang dibentuk penguasa guna merangkul dan mencumbu kekuatan Islam, agar mereka
tidak banyak merunyak, mengganggu keasyikan Kolonial. Sistem ini mereka gaji
secara bulanan lalu dimainkan guna menelikung kekuatan Islam dan muslim yang
kian sadar akan ketertindasan.
M. Nasrudin
Pimred Jurnal Justisia FS IAIN Walisongo Semarang (2008). Esai ditulis pada Desember 2008 untuk diikutkan dalam lomba esai LPM OBSESI STAIN PURWOKERTO. Mulanya, berjudul "Agama Melawan Kuasa Kolonial". Tulisan ini diturunkan ke dalam 3 bagian.
Comments