SEMASA KOLONIAL, pesantren, utamanya bila pengasuhnya
seorang Haji, menjadi sasaran tembak penguasa. Ini tak lepas dari ideologi pan-Islamisme
dan nasionalisme relijius yang dibawa dan dikembangkan seorang Haji. Sudah
menjadi kelaziman, saat berhaji, seorang jama’ah singgah beberapa tahun di
Haramayn (Makkah dan Medinah).
Mereka tidak hanya belajar agama. Mereka membangun
jejaring pengetahuan, ideologi, bahkan afiliasi politik. Pada musim haji, ratusan
ribu jamaah dari seluruh dunia berkumpul. Pertukaran ilmu, pengetahuan, pengalaman,
serta informasi menjadi niscaya. Di sinilah, nasionalisme dan persaudaraan sesama
muslim yang terjajah, kian terpupuk. (A. Azra, 2004:46).
Tatkala kembali ke negeri asal, bekal ideologi itu
dikembangkan. Gerakan Haji ini amat berpengaruh. Bisa dilihat, bagaimana kebijakan
kolonial membendung gerakan Haji, dari Ordonansi guru agama (1905), pelarangan haji
(1908), pengawasan pendidikan Islam, hingga pengawasan atas penghulu.(Aqib S,1985:19).
Di antara ratusan tokoh Haji, ada Haji Miskin
Padang, Haji Zaenal Tasikmalaya, Haji Nawawi Banten, Haji Kholil Bangkalan, dan
Haji Rifa’i Kalisalak, Batang (1822 M). Haji Rifa’i punya track record menarik.
Haji yang lahir di Kaliwungu Kendal ini melihat kondisi bangsa kian terpuruk dijajah
Kolonial. Parahnya, beberapa kelompok pribumi, termasuk ulama justru mengabdi
kepada kolonial kafir, menjadi penghulu.
Haji Rifa’i melawan Kolonial dengan mengeluarkan
fatwa, pernikahan yang diakadkan penghulu tidak sah. Begitu juga shalat Jum’at yang
diimami penghulu. Karena, penghulu tidak adil, tapi fasiq. Maka, akad
nikah harus diulang. Terang saja, Haji Rifa’i mendapat intimidasi dari penghulu,
Kolonial, dan kroninya. Hingga pada 1840-an ia pindah ke Kalisalak, (kini Kec. Limpung,
Kab. Batang).
Inilah kutipan Kitab Tabyin al-Islah Li Murid
an-Nikah bis-Shawâb. “Akeh ‘alim fasiq niru saiki zaman/ pada dadi
pengulu maha gedhe kedusan// Buru artha haram duniane keluhuran/ ikulah
kena fitnah dunia pengapusan/ (hlm. 180) Kang podo ngawula marang raja
kufur sakeng pangestu ing sabenere syara’ mungkur// Uga ghalib qadhi ora sah
jumat shalat/ lan nikahan bebathalan kurang syarat//”(hlm. 194).
Terjemahnya, “Banyak alim fasik seperti pada era
kini/ mereka menjadi penghulu berlumur dosa// mengejar uang haram dan kemuliaan
dunia/ mereka tertipu fitnah dunia// Mereka menghambakan diri pada raja kafir
(baca: Kolonial), tidak mengikuti aturan syariat// Sehingga, penghulu tidak sah
menjadi imam shalat jumat/ dan (mewakili wali) dalam akad nikah, batal karena
kurang syarat//”
Hampir semua nadzam yang ditulis, memakai bahar
Rajaz. Pilihan kata-katanya lugas-tegas, tidak berbelit seperti syair
Jawa. Ruh perlawanan atas feodalisme dan penjajahan kolonial yang Kafir, nyata terlihat.
Dalam satu karya saja, Haji Rifa’i menghabiskan 28 halaman untuk membahas penghulu
alim fasiq: status hukum, kecakapan melakukan perbuatan hukum, ancaman, dan ajakan
untuk bertaubat.
Kitab-kitabnya ditulis dalam bahasa Jawa dan
beraksara Arab-Pegon, hingga disebut kitab Tarjumah atau Terjemah. Ini
dilakukan guna mempermudah masyarakat pedalaman untuk memahami agama.
Menariknya, Haji Rifa’i mengemas dalam bentuk syair yang setiap bait terdiri atas
dua baris dengan kesamaan akhiran.
Meski menulis dalam bahasa Jawa, Haji Rifa’i
menyertakan teks berbahasa Arab yang dikutip dari al-Qur’an, Hadits, dan
pendapat ulama yang ditulis dengan tinta merah. Permulaan bab juga berwarna
merah. Sedang teks terjemah digores dalam tinta hitam. Ini memudahkan pembaca
awam yang melihat deretan nadzam laiknya tumpukan sekam padi, susah menemukan
jarum.
Sekitar 19 tahun (1254-1273 H), Haji Rifa’i
menulis 61 kitab. Ini yang terlacak. Di antaranya, Ri’ayah al-Himmah
(Ushul, Fiqh, dan Tasawuf), Syarih al-Iman (Tauhid), Tasyrih
al-Muhtaj (Fiqh Muamalah), Abyân al-Hawâ’ij (Ushul, Fiqh, dan
Tasawuf), dan Tabyin al-Islah (pernikahan, cerai, dan rujuk).
(Djamil, 2001:21-39).
Dilarang, Dibuang
Bila negara ingin kuat, rakyat harus
(di)lemah(kan). Ini adagium klasik yang diterapkan Kolonial. Mereka hendak
memonopoli sumber perekonomian di Nusantara lalu menjualnya di pasar Eropa
dengan harga tinggi demi keuntungan berlipat. Pemerintah kolonial tak mau ada
ganjalan. Maka kolonial bermain di wilayah politik-ekonomi dengan politik devide
at ampera.
Di sisi lain, kembalinya para Haji ke Nusantara setali tiga uang dengan terbukanya mata bangsa Indonesia akan ketertindasan dan ketidakadilan karena kolonial. Saatnya melakukan perubahan, pencerdasan masyarakat, dan perlawanan. Dan, perlawanan tidak harus angkat senjata. Karena angkat pena juga sebentuk jihad.
Tidak mengherankan, karya-karya para Haji ini menjadi duri dalam daging bagi penguasa. Demi stabilitas, penguasa melarang dan merampas ribuan buku Haji Rifa’i. Sekarang, naskah-naskah itu disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Tidak heran, dari 60-an karya yang pernah ditulis, hanya beberapa puluh saja yang sampai kepada kita.
Tak cukup dilarang bukunya, Haji Rifa’i diadili di Pengadilan Negeri Pekalongan. Lalu, ia diasingkan di Kampung Jawa, Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara dan meninggal di sana pada 1870. (Shodiq, 2006:31)
Kendati diasingkan, gerakan dan pemikiran Haji Rifa’i tak berhenti. Beberapa karya tulis yang tersisa dalam bentuk manuskrip dan salinan tangan diajarkan turun-temurun di kalangan Jam’iyah Rifaiyah, hingga kini. Dan, spirit perlawanan dan nasionalisme mengkristal pada abad berikutnya, abad IX: abad kebangkitan nasional.[]
Di sisi lain, kembalinya para Haji ke Nusantara setali tiga uang dengan terbukanya mata bangsa Indonesia akan ketertindasan dan ketidakadilan karena kolonial. Saatnya melakukan perubahan, pencerdasan masyarakat, dan perlawanan. Dan, perlawanan tidak harus angkat senjata. Karena angkat pena juga sebentuk jihad.
Tidak mengherankan, karya-karya para Haji ini menjadi duri dalam daging bagi penguasa. Demi stabilitas, penguasa melarang dan merampas ribuan buku Haji Rifa’i. Sekarang, naskah-naskah itu disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Tidak heran, dari 60-an karya yang pernah ditulis, hanya beberapa puluh saja yang sampai kepada kita.
Tak cukup dilarang bukunya, Haji Rifa’i diadili di Pengadilan Negeri Pekalongan. Lalu, ia diasingkan di Kampung Jawa, Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara dan meninggal di sana pada 1870. (Shodiq, 2006:31)
Kendati diasingkan, gerakan dan pemikiran Haji Rifa’i tak berhenti. Beberapa karya tulis yang tersisa dalam bentuk manuskrip dan salinan tangan diajarkan turun-temurun di kalangan Jam’iyah Rifaiyah, hingga kini. Dan, spirit perlawanan dan nasionalisme mengkristal pada abad berikutnya, abad IX: abad kebangkitan nasional.[]
M. Nasrudin
Perajin buku. Artikel ini ditulis pada awal Desember 2008. Di sela-sela penelitian skripsi di Kendal, Pekalongan, Pati, dan Batang Jawa Tengah tentang Pemikiran Haji Rifa'i dan Jam'iyyah Rifa'iyah berkait nikah yang diakadkan oleh penghulu.
Comments