Relasi Kuasa
Ada semacam ketimpangan yang terjadi di antara Kyai Rifa'i dengan
para penghulu. Kecaman dan klaim “alim fasik” yang dilekatkan oleh Kyai Rifa'i
kepada penghulu merupakan sebentuk kritik atas deviasi yang dilakukan
sekelompok penghulu, lantaran kedekatan dan relasi patron-klien dengan penguasa
lalim, non-muslim pula.
Di sisi lain, para penghulu menganggap Kyai Rifa'i dan komunitas
Tarjumahnya sebagai orang-orang yang tidak realistis melihat kondisi bangsa,
arogan, sombong, sok suci, dan semberono dalam memahami ajaran Islam, lantaran
terlalu sempit. Terlalu mengagungkan pemahamannya sendiri dan sering
menyalahkan orang lain.
Amat tampak jelas, dalam pertarungan di domain ide, Kyai Rifa'i dan
pengikutnya di satu sisi dengan penghulu dan pengikutnya di sisi lain telah
membangun relasi timbal balik. Keduanya bertukar peran, baik sebagai pembuat
maupun interpreter atas diskursus yang dilontarkan setiap partisipan perang
wacana.
Dalam dunia ide, Kyai Rifa'i memantik tembakan, bahwa pernikahan
yang diakadkan oleh penghulu tidak sah. Sama halnya dengan Shalat Jumat yang
imamnya seorang penghulu, tidak sah. Ini adalah sebuah tamparan yang cukup
keras. Tetapi, pertarungan tak cukup dilakukan pada dunia ide.
Kyai Rifa'i sadar akan keterbatasan usianya. Ia juga mampu mengukur
seberapa besar kekuatan (power) yang ia punyai. Ia kemudian berusaha melanggengkan
idenya dalam dunia yang lebih nyata. Selama 19 tahun, ia menuliskan lebih dari
64 naskah kitab yang sebagian di antaranya mengulas perlawanan kepada penguasa,
selain membincang Islam.
Kyai Rifa'i menjadikan agama sebagai salah satu senjata melawan
Kolonial (juga penghulu). Di mata Kyai Rifa'i, sebagaimana disebutkan dalam
kutipan di awal tulisan ini, penghulu meminjam agama guna mendapatkan harta dan
kemuliaan. Para penghulu lalu menganggap Kyai Rifa'i terlalu kaku dalam
menafsirkan pesan agama. Tapi letupan terakhir ini tidak mendapat sambutan
publik.
Dan, pertarungan kian kurang seimbang, lantaran Kyai Rifa'i memiliki
kelebihan dengan membukukan idenya dalam banyak naskah yang tersebar kepada
umat Islam. Inilah yang menjadi nilai lebih yang tidak dimiliki penghulu.
Mereka tidak mempunyai kemampuan (atau mungkin kesempatan) untuk membakukan
pengetahuan mereka dalam naskah tertulis, lantaran sibuk dengan “dunia
lainnya”.
Melihat ketidakseimbangan ini, pemerintah kolonial segera
menggunakan kuasa politik dan fisik untuk menahan Kyai Rifa'i di Kendal,
Semarang dan Wonosobo. Lalu, ia diadili di Pengadilan Negeri Pekalongan. Hasil
keputusan pengadilan, Kyai Rifa'i pada 1959 diasingkan ke Ambon, lalu dipindah
ke Kampung Jawa, Minahasa, di mana Panglima perang Pangeran Diponegoro, Kiai
Mojo juga dibuang di sana.
Sebelumnya, kuasa pengetahuan yang ada di komunitas Tarjumah
dilucuti dan dimusnahkan. Mereka diintidasi dan dilekati pelbagai stereotipe
negatif. Ratusan naskah tulisan Kyai Rifa'i dirampas. Kolonial juga memakai
kuasa politik guna melarang penyampaian ajaran Kyai Rifa'i di negeri ini.
Diharapkan hal ini bisa mengendalikan perlawanan.
Tapi, siapa yang mampu memasung seseorang untuk tidak berpikir? []
Comments