Pupuk Tasawuf dari Tradisi non-Islam
Mahmud lantas yang membagi kehadiran gnosis berdasarkan asalnya: Barat dan Timur. Keduanya, meski bernafas senada, punya corak yang berbeda, terutama dalam bentuk pengaruh yang diberikan pada tasawuf Islam. Gnosis timur, oleh Mahmud diidentifikasikan berasal dari daerah Mesir, Persia, India, dan Yahudi[5]. Mahmud tampaknya mengabaikan tradisi China dengan Tao dan Konfuchunya. Sedang Nicholson dalam The Mystics of Islam melupakan tradisi Persia.[6] Sementara, pengaruh gnosis Barat yang utama adalah filsafat mistik, seperti filsafat Neo-Platonius dan mistik Pythagoras. Filsafat Neo-Platinus adalah filsafat emanasi (pancaran).[7] Roh manusia adalah pancaran dzat Tuhan. Ia akan kembali kepada Tuhan. Untuk itu, ia harus membersihkan diri karena dirinya telah kotor oleh alam materi. Sedang mistik Pytagoras meyakini, roh manusia itu kekal dan terpenjara dalam tubuh. Saat itu, roh menjadi kotor. Dan ia butuh untuk membersihkan diri.
Melihat praktik yang
dijalankan kaum sufi, ada sementara kalangan yang mengidentikkan tasawuf
dengan perilaku sejenis dalam tradisi lain di luar Islam. Karena pada
kenyataannya, asketisme hampir bisa ditemui dalam semua tradisi agama, samâwîy maupun ardhîy.[1] Wajar hal ini terjadi, lantaran setiap
‘agama’ [dengan a kecil] mempercayai kekuatan gaib yang kudus, di mana manusia
tunduk dan akal tak sanggup menjamahnya. Begitu dominannya kekuatan itu,
hingga manusia perlu mendekatkan diri dan menjaganya agar tidak murka, dengan
membersihkan dan menjaga diri.[2] Tradisi-tradisi itu tampaknya independen,
tidak ada sangkut-paut satu dengan lainya.
Namun, bisa jadi, ada kerja saling mempengaruhi, setidaknya ada benang merah di antara tradisi-tradisi asketisme. Hingga tak jarang, beberapa peneliti menyatakan bahwa banyak ajaran non-Islam yang turut bermain dalam proses perkembangan tasawuf. Di antara beberapa tradisi yang menjadi titik perhatian adalah gnostisisme. Term ini dimaknai oleh Mahmud sebagai “ma’rifah”. Ia, tampak mempersamakan antara gnosis dalam tradisi non-Islam dengan ma’rifat dalam term tasawuf.[3] Gnosis atau ma’rifah, menurut Mahmud, merupakan pencapaian seseorang pada puncak pengetahuan tertinggi. Pengetahuan ini tidak bisa didapat melalui akal demonstratif (burhan) dan pengujian empirik melalui media apapun, melainkan hanya bisa dengan tersingkapnya hijab.[4] Gnosis bisa dijadikan benang merah yang menyatukan semua tradisi ‘agama’ dan kepercayaan (?) yang pernah ada di muka bumi ini.
Namun, bisa jadi, ada kerja saling mempengaruhi, setidaknya ada benang merah di antara tradisi-tradisi asketisme. Hingga tak jarang, beberapa peneliti menyatakan bahwa banyak ajaran non-Islam yang turut bermain dalam proses perkembangan tasawuf. Di antara beberapa tradisi yang menjadi titik perhatian adalah gnostisisme. Term ini dimaknai oleh Mahmud sebagai “ma’rifah”. Ia, tampak mempersamakan antara gnosis dalam tradisi non-Islam dengan ma’rifat dalam term tasawuf.[3] Gnosis atau ma’rifah, menurut Mahmud, merupakan pencapaian seseorang pada puncak pengetahuan tertinggi. Pengetahuan ini tidak bisa didapat melalui akal demonstratif (burhan) dan pengujian empirik melalui media apapun, melainkan hanya bisa dengan tersingkapnya hijab.[4] Gnosis bisa dijadikan benang merah yang menyatukan semua tradisi ‘agama’ dan kepercayaan (?) yang pernah ada di muka bumi ini.
Mahmud lantas yang membagi kehadiran gnosis berdasarkan asalnya: Barat dan Timur. Keduanya, meski bernafas senada, punya corak yang berbeda, terutama dalam bentuk pengaruh yang diberikan pada tasawuf Islam. Gnosis timur, oleh Mahmud diidentifikasikan berasal dari daerah Mesir, Persia, India, dan Yahudi[5]. Mahmud tampaknya mengabaikan tradisi China dengan Tao dan Konfuchunya. Sedang Nicholson dalam The Mystics of Islam melupakan tradisi Persia.[6] Sementara, pengaruh gnosis Barat yang utama adalah filsafat mistik, seperti filsafat Neo-Platonius dan mistik Pythagoras. Filsafat Neo-Platinus adalah filsafat emanasi (pancaran).[7] Roh manusia adalah pancaran dzat Tuhan. Ia akan kembali kepada Tuhan. Untuk itu, ia harus membersihkan diri karena dirinya telah kotor oleh alam materi. Sedang mistik Pytagoras meyakini, roh manusia itu kekal dan terpenjara dalam tubuh. Saat itu, roh menjadi kotor. Dan ia butuh untuk membersihkan diri.
Kristen dengan tradisi kerahibannya (tidak menikah),
juga dituding Nicholson punya pengaruh terhadap tasawuf,[8] meski secara tegas dinyatakan, Islam tidak
mengenal kerahiban, lâ ruhbâniyah fid dîn. Demikian halnya
dengan tradisi Budha dengan Nirvana yang mirip fana’ dan baqa’.
Serta Hindu dengan penyatuan antara Atman dan Brahmannya,[9] juga mengenai moksa. Namun, kebanyakan
pemikir muslim ramai-ramai membantah klaim di atas. Dengan berbagai dalih,
mereka meyakinkan bahwa tasawuf Islam memang murni berasal dari dalam Islam,
tak ada kaitan apalagi pengaruh dari tradisi non-Islam.[10] Meski demikian, dalam dinamika keilmuan,
seharusnya dialog menjadi key word. Karena pada dasarnya,
pengaruh tidak selamanya bernilai negatif. Harus ada pembacaan yang lebih
dewasa.
[1] Lihat Dr Abdul Qadir Mahmud,
al Falsafah as Shuufiyah fi al Islâm; Mashâdiruhâ, wa Nadhâriyatuhâ, wa
Makânuhâ, min ad Dîn wal Hayât, (Dar al Fikr al Araby, t. th.), hlm. 2.
Dalam buku itu, Mahmud memberi porsi lebih dari 40 halaman hanya untuk mengulas
pengaruh non-Islam terhadap ajaran tasawuf.
[2] Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,
jilid 1, (Jakarta: UI Press, 2001), hlm. 4.
[3] Padahal, sebatas pengetahuan penulis, gnosis tidak bisa
begitu saja disamakan dengan ma’rifah. Ada sekat-sekat linguistik dan
budaya yang menyebabkan keduanya tidak bisa saling mensubstitusi. Husnudzon-nya,
Mahmud sekadar memudahkan pembaca.
Gnosis sendiri bisa dimaknai sebagai
potensi seseorang yang ketika melihat ‘yang lain’, dirinya bisa mencitrakan
diri sebagai ‘yang lain’ itu. Saat melihat matahari, maka diri ini adalah citra
matahari. Saat melihat Tuhan, maka diri adalah citra Tuhan. Sedangkan Ma’rifah
adalah pengetahuan yang didapat dari tersingkapnya hijab. Namun, karena potensi
gnosis ada dalam semua tradisi agama, baik samawi (prophetic,
konfrontatif) dan ardhi (interioritas), Mahmud mengambil definisi
yang umum.
[5] Pembagian ini rupanya lebih
menekankan pada dimensi geografis. Terbukti dengan masuknya Yahudi dalam
klasifikasi gnosis timur. Padahal, secara antroposentris, akan lebih
menarik bila tradisi gnosis ini dibagi ke dua narasi besar: tradisi gnosis
agama ardhi dan samawy.
[7] Kelak, filsafat emanasi ini
akan dikembangkan oleh filsuf muslim, al Farabi. Ia menyatakna bahwa dzat Tuhan
memancar dan menghasilkan akal pertama. Akal pertama memikirkan Tuhan, maka
jadilah akal kedua, akal pertama memikirkan dirinya sendiri, jadilah langit.
Demikian seterusnya..
[8] Untuk menguatkan persangkaan
ini, ia menyatakan bahwa dalam biografi para sufi, acap ditemui pujian atas
Nabi Isa AS (Jesus) dan beberapa kutipan Bibel. Ia mencantumkan percakapan
antara Sufi Syiria, Ahmad bin al Hawary, yang menyebutkan seruan Bibel yang
terkuat. Yakni, mencintai Tuhan. Lihat, Nicholson, ibid., hlm. 11-12
[10] Beberapa tokoh yang bisa
disebutkan di sini adalah, HAMKA, Tasauf: Perkembangan dan Pemurniannya,
(Jakarta: Pustaka Panjimas), hlm. 51-59. Baca juga Amin Syukur, Menggugat
Tasawuf, ibid., hlm. 19-21.
Comments