Hak Menghadirkan Kematian[1]
Kritik Pidana Mati dalam Filsafat Hukum Islam
Dalam semalam, Kejaksaan
mengeksekusi tiga terpidana mati: Sumiasih, Sugeng (Surabaya), dan Tubagus
Yusuf Maulana alias Usep (Banten) pada 20 Juli 2008 lalu. Nyawa mereka melayang di ujung
senapan para algojo dari Brimob. Selanjutnya, Amrozi cs, para pelaku bom Bali menyusul.
Kematian sejatinya tidak
akan pernah terlepas dari fenomena kehidupan. Keduanya jalin-menjalin dalam
sebuah harmoni yang teramat indah. Tapi, jemalin harmoni ini akan menjelma
problem manakala tidak dipahami dan “diselesaikan” dengan baik, terutama
berkait persoalan kehadiran kematian.
Senyatanya, kehadiran
kematian sama misterinya dengan kehadiran kehidupan. Keduanya sama-sama
menimbulkan implikasi unik. Kehidupan berimplikasi pada hadirnya hak dan
kewajiban atas diri yang hidup dan lingkungan[2]
yang dihadirinya. Pun, hak dan kewajiban yang-hadir secara vertikal kepada Yang
Maha Hidup.
Sementara, kehadiran
kematian yang tak lain merupakan hilangnya kehidupan berimplikasi pada lenyap
dan hadirnya hak dan kewajiban, meski dalam bentuk berbeda, baik pada diri yang
mati maupun pada mereka yang ditinggalkan. Ia yang dihadiri kematian,
kehilangan kewajiban vertikal kepada Sang Khalik. Sedang kewajiban horizontal
diambil alih ahli warisnya, seperti hutang-piutang.
Ini sekedar prawacana.
Sebelum berbicara lebih lanjut mengenai hak atas kematian dan menghadirkannya,
perlu kiranya kita berbicara lebih lanjut mengenai kematian dalam sistem etika
dan nalar Islam.
[1] Tulisan ini pernah
dipublikasikan di jurnal Kacamata Fak. Filsafat UGM Yogyakarta, vol. 01/2008.
[2]
Lingkungan dalam arti luas: mulai keluarga,
masyarakat sekitar, hingga negara.
Comments