Interaksi Burhan, Bayan, dan Irfan[1] dalam Tasawuf
Semua varian Tasawuf sepakat bahwa al
Quran dan al Hadits merupakan teks otoritatif yang utama. Dari sini, mereka
melakukan eksplorasi mendalam terhadap teks tersebut. Sufi Sunny
mendekati dengan irfani. Sedang Sufi Falsafy mendekatinya dengan burhany.
Tegasnya, burhani dan irfani berebut untuk mengeksplorasi satu
objek, bayani. Ketiga nalar tersebut (bayani, irfani, dan burhani)
tidak bertentangan satu sama lain, karena masing-masing punya pijakan normatif
dan pijakan logis; juga tidak saling mengungguli, karena masing-masing punya
kelebihan dan kelemahan. Namun, antara ketiganya terjalin sebuah rajutan unik
yang saling menyokong dan melengkapi, tidak saling menegasikan (trikhotomis)
untuk menuju al Haq.
Meski
mengedepankan burhani, Tasawuf Falsafy tidak bisa meninggalkan irfany
begitu saja, karena inspirasi bisa datang dari mana saja. Demikan juga,
Tasawuf Sunny membutuhkan burhany untuk memahami dan menjelaskan
paham-pahamnya.
Saat
sampai pada al Haq, masing-masing pengguna pola rajutan tersebut merasakan
nilai kepuasan berbeda. Sufi Sunny mendapatkan kepuasan batin yang tak
terperikan. Begitu pula kaum Falsafy. Namun, kaum Falsafy mendapatkan
kepuasan intelektual yang tak didapat kaum Sunny, yang lebih terkonsentrasi
pada moral etik. Selain itu, kebebasan berekspresi lebih diakui oleh Tasawuf
Falsafy. Tidak heran, kita bisa dengan mudah menjumpai karya-karya sufi
Falsafy dalam bentuk syair, puisi, atau prosa.[2] Tengok misalnya
Hakim Nizami (w. 1222) yang terkenal dengan roman Layla-Majnun,[3] dan Khusraw dan Syirin.[4] Atau kitab Matsnawy (25.000 Syair), Diwan
Syams at Tabrizy (40.000 Syair), Fihi Ma Fihi (Prosa), Maktubat,
Majlis Sab’ah, dan Rubaiyyah karya Jalaludin Rumi (604/1207).[5] Demikian halnya al Hallaj dengan Kitab Tawasin
(Kitab Kematian), dan Hamzah Fansuri dengan syair dan pantun Melayunya.
Karya-karya
itu begitu indah dan menjadi inspirator banyak kalangan. Ini jelas berbeda
dengan kaum Sufi Sunny yang karya-karyanya cukup kaku dan saklek. Al
Ghazali dalam Bidâyah al Hidâyah misalnya, sangat menekankan
ritual fisik (riyadhah); seperti bagaimana wudhu yang baik, apa yang
dibaca saat membasuh rukun-rukun wudhu, bagaimana puasa yang baik, wirid apa
yang harus dibaca saat-saat tertentu, dan seterusnya. Demikian halnya, meskipun
tasawuf Sunny mengenal musyâhadah (perjumpaan dengan Tuhan) yang
ter-cover dalam ma’rifat, fana’, dan baqa’, tetap
saja kepuasan batin yang didapat bisa terreduksi dengan ketatnya batasan berekspresi.
Terakhir,
kaitannya dengan fiqh yang terkesan gersang, kiranya tasawuf bisa memberikan
setetes embun segar. Tercatat, ada ulama Nusantara yang berhasil meramu tradisi
mistik, fiqh, dan tauhid dengan apik, yakni
yakni Imam Nawawy al Bantani. Dalam setiap racikan kitabnya —tengok
misalnya Durrar al Bahiyyah, Sullam at Tawfiiq, Sullam al Munâjah, dsb—
selalu dimulai dengan tauhid, dilanjutkan dengan fiqh yang dibumbui tasawuf,
filosofi tasyri’, dan disesuaikan dengan tipologi masyarakat Indonesia yang
juga akrab dengan tradisi mistik. Tampaknya, inilah fiqh Indonesia yang
ditunggu-tunggu. Allah a’lam.[j]
[1] Pemetaan ini dilakukan dengan baik oleh
Abed al Jabiri, pemikir kontemporer asal Maroko dalam bukunya, Takwin al Aql
Al Araby. Buku ini diterjemahkan menjadi Formasi Nalar Arab, (Jogjakarta:
Ircisod, 2001).
[2] Lazimnya, mereka menolak menyebut apa
yang dituliskannya sebagai Syair. Karena al Qur’an mencela para penyair sebagai
orang yang suka memutar kata, identik dengan kebohongan, diikuti orang-orang
sesat, dan tidak melakukan apa yang dikatakan (Q.S. Asy Syuara 224-226). Namun,
dalam akhir surat itu, al Qur’an memuji penyair yang beriman, beramal shaleh,
dan banyak menyebut Allah. Di tempat lain, al Qur’an juga membantah bahwa apa
yang dikatakan Muhammad adalah syair, karena syair bagi Nabi hukumnya haram.
[3] Kisah cinta ini menjadi master price
roman sastra Timur yang dalam versi Persia terdiri dari 4.500 syair
berbentuk matsnawy, kelak ini disempurnakan Rumi. Konon, William
Shakespeare terinspirasi oleh kisah ini untuk menuliskan kisah Romeo-Juliet
seratus tahun kemudian. Secara umum, ia menggambarkan bagaimana cinta seseorang
yang begitu tulus hingga tak ingin mendapatkan balasan apapun. Lihat Syaikh
Nidzami, Laila Majnun, penterj. Sholih Gismar (Jogjakarta: Navilla,
2004).
[4] Kisah ini bertutur tentang romantika
cinta Kisraw, putra mahkota kerajaan Persia pada Syirin, seorang putri kerajaan
Armenia yang dipermainkan nasib. Seperti Layla-Majnun, kisah ini berujung pada pada kematian tragis
para pecinta. Baca ringkasan ceritanya dalam Mojdeh Bayat, Tales from the
Land of the Sufis, terj. Para Sufi Agung, Kisah dan Legenda, penerj,
Erna Novana, (Jogjakarta: Pustaka Sufi, 2003), hlm. 106-128.
[5] William C. Chittick, ibid., hlm.
9-10.
Comments