Membincang dunia dakwah kontemporer tak akan pernah sempurna tanpa kita membincang kelindan ideologi dan pergulatan identitas dalam kebudayaan mutakhir di Indonesia. Dalam lanskap modernitas dan bahkan post-modernisme, kebudayaan Indonesia beberapa dekade belakangan ini tak bisa dilepaskan dari budaya populer. Dalam pandangan seperti ini, membincang dakwah tak akan lengkap tanpa membincang kaitannya dengan budaya populer.
Budaya populer yang dibahas dalam tulisan ini hanya akan dikerucutkan dalam pemaknaan bahwa budaya tersebut diproduksi secara massal oleh industri untuk dikonsumsi secara massal juga oleh masyarakat. Dalam konsumsi ini, dibutuhkan media yang digunakan untuk menyajikan produk budaya kepada konsumen. Sehingga, pembahasaan kali ini tentu akan fokus pada objek media massa dalam sikapnya terkait agenda dakwah Islam, dan juga program acara mereka.
Logika Media
Televisi nyaris tak bisa dilepaskan dari masyarakat kita. Kotak bercahaya itu seakan jauh lebih akrab dengan kita ketimbang hal lain. Ia sudah masuk ke dalam ruang-ruang pribadi kita. Menguasai waktu kita. Laiknya lubang hitam ia menyedot perhatian kita secara penuh dalam serentengan waktu-waktu penting. Apa yang disajikan televisi ini menarik untuk dicermati, terutama kaitannya dengan pertama, bahwa orang Indonesia, yang menjadi konsumen adalah manusia Timur yang beragama, sebagian besar Islam.
Fakta di atas ini kemudian menjadikan ciri khas tersendiri, dan tidak bisa diabaikan oleh produsen program televisi yang ingin masuk ke dalam masyarakat, membetot perhatian mereka sehingga mendapatkan rating yang tinggi, yang ujung-ujungnya adalah mengundang sebanyak mungkin pengiklan untuk menampilkan iklan mereka di program-program yang ditayangkan. Pertanyaannya, seberapa jauh pengaruh religiusitas penonton menjadi bahan pertimbangan dalam memproduksi sebuah program terkait agenda dakwah Islam di televisi?
Kedua, bahwa salah satu tugas besar televisi adalah mencari keuntungan semaksimal mungkin. Caranya adalah dengan menampilkan program semenarik mungkin dan sesuai dengan kebutuhan pasar, meski tak jarang kebutuhan ini diciptakan, sesekali dipaksakan. Sehingga, program dakwah atau semangat dakwah yang ditampilkan dalam program dakwah menjadi hal yang menarik untuk dibedah. Bagaimana ideologi pasar dan ideologi agama bertemu dan bertransaksi menjadi menarik untuk dibahas lebih lanjut. Logika macam inilah yang digunakan pada nyaris seluruh media dalam frame budaya populer cum budaya massa.
Akar Identitas Islam di Media
Dari kedua alasan di atas, mari kita langsung menuju jantung persoalan. Dalam beberapa tahun belakangan ada pergeseran dalam tayangan televisi, terutama sinetron yang kian tampak santun-islami. Sesungguhnya gejala islamisasi di media ini sudah dimulai sejak awal 1990-an ketika pemerintah Orba di satu sisi mulai disorot rakyat karena indikasi praktik korupsi. Untuk mengimbangi sorotan ini, Orba mulai mendekati Islam. Didirikanlah Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), juga Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila dengan program pembangunan masjidnya.
Bahkan Soeharto dan keluarganya menunaikan ibadah haji dan secara dramatis digambarkan ia masuk ke dalam Kakbah. Yang tak kalah menarik, Mbak Tutut, putri Istana, mulai tampil di muka umum dengan mengenakan kerudung. Maka identitas-politik Islam kemudian mendapatkan ruang yang lebih leluasa, setelah nyaris dua dekade identitas-politik Islam dikekang dan tidak mendapat ruang. Dan kejatuhan Orba menjadi gong, ketika aspirasi islam politik dan identitasnya tampil di ruang publik, ruang politik, dan terutama media.
Fenomena dakwah melalui media massa juga mulai marak. Awal 1990-an ditandai dengan kelahiran koran yang terang-terangan berafiliasi kepada identitas Islam, Republika. Menariknya, Republika ini mendapat dukungan dari ICMI, yang di dalamnya banyak teknokrat yang cukup dekat dengan pemerintah Orba. Ketika Orba runtuh, Departemen Penerangan dibubarkan sehingga siapa pun bisa mengorganisir modal untuk menerbitkan media untuk tujuan dakwah. Kemunculan Web 2.0 juga memudahkan siapa pun untuk bisa turut berkontribusi dalam dakwah.
Di televisi, kita bisa melihat maraknya sinetron yang diisi oleh aktor yang berbaju koko serta aktris yang berjilbab, tak sekadar berkerudung. Ketika kemunculan Aa Gym yang fenomenal pada medio dekade 2000-an, nyaris setiap hari ia tampil di televisi secara bergantian dari satu stasiun ke stasiun yang lain. Tulisan-tulisannya juga tersebar di banyak suratkabar, situs, buku, majalah, dan terutama buletin Jumat yang diterbitkan oleh Darut Tauhid, pesantren yang ia asuh.
Fenomena Aa Gym
Apa yang disampaikan oleh Aa Gym dalam dakwahnya lebih berkisar pada bagaimana laku menjaga dan mengatur hati, agar kehidupan menjadi lebih bermakna (seperti yang sering ia utarakan ketika mengisahkan semangat kakaknya yang cacat fisik), lebih berhasil secara duniawi dan ukhrawi (seperti yang ia tampilkan dalam pesantren-karya Daarut Tauhid dan kesuksesannya mengelola banyak perusahaan), serta lebih tenang (bahkan ia mendengungkan hal ini ketika ia mulai undur dari ceramah publik, saat diwawancarai Andy F. Noya di Kick Andy).
Materi ceramah seperti ini sangat digandrungi masyarakat muslim. Terlihat dari rating ceramahnya tinggi pada setiap penampilannya yang nyaris setiap Ahad siang di salah satu stasiun televisi swasta. Buku-buku karya Aa Gym, meski sebagian di antaranya ditulis oleh ghostwriter, laris-manis bak kacang goreng. CD rekaman ceramahnya juga laris manis. Bahkan poster fotonya diburu banyak orang yang cenderung fanatik. Fanatisme dan terutama penerimaan publik yang sangat positif ini terkait dengan beberapa faktor.
Pertama, dibukanya kran politik menyebabkan pertarungan identitas merembet pada perebutan kursi di parlemen. Identitas politik Islam ada yang cenderung berupaya untuk mendapatkan kekuasaan, baik untuk menyalurkan aspirasi identitas islamnya atau aspirasi lain. Hal ini berimbas pada banyaknya tokoh Islam, terutama mubaligh dan kyai yang terjun ke dunia politik.
Dunia politik praktis, oleh sebagian besar orang dipandang sebagai dunia kotor, sehingga tidak layak untuk dimasuki oleh tokoh Islam yang seharusnya bersifat asketis dan iffah. Kita bisa melihat bagaimana citra dan kepercayaan publik kepada Dai Sejuta Umat, KH Zainuddin MZ amblas begitu saja ketika ia membesarkan PBR. Sementara itu, Aa Gym menampilkan citra ulama yang tidak tergiur oleh rayuan dunia politik. Sehingga publik muslim cenderung percaya dan menaruh simpati kepadanya.
Kedua, meski sudah dimulai sejak dekade 1970-an, banyak perempuan yang masuk ke dunia non-domestik, yang marak dengan wanita karier. Ada pandangan mainstream masyarakat yang mencap negatif wanita karier ini sebagai tidak taat ada suami, meninggalkan kewajiban rumah tangga, mengabaikan kewajiban pengasuhan anak dan melemparkan tanggung jawab kepada pembantu dan baby sitter. Tak jarang, keluarga seperti ini jauh dari apa yang disebut sakinah mawaddah dan wa rahmah.
Aa Gym dan istrinya, Teh Ninih yang sama-sama tampil di ranah publik berhasil mencontohkan keluarga yang harmonis, meski keduanya memiliki kesibukan dengan dunia publiknya. Bagaimana anak-anak mereka tumbuh dan diasuh oleh ibunya sendiri, bagaimana kemesraan dan rasa sayang Aa Gym diungkapkan, bahkan kerap dijadikan contoh dan bahan dakwah dalam ceramah. Keluarga mereka menjadi role-model bagaimana membangun keluarga. Meski akhirnya titik inilah yang menjadikan Aa Gym dilemparkan dari panggung media, ketika ia poligami dan Teh Ninih meminta cerai.
Pada titik ini ada dua hal yang menarik untuk dicermati. Pertama, soal pemberitaan prahara rumah tangga Aa Gym yang juga diramaikan dan diulas di program-program infotainment. Padahal, program-program ini biasanya hanya mengulas kasus yang melibatkan artis, bukannya da’i atau mubaligh. Dari sini kita bisa melihat bahwa lembaga mubaligh atau dai pun tak jauh beda dengan artis, di mana ia dihilangkan sisi humanismenya untuk kemudian dinikmati dan dikecam bersama. Dan media infotainment ramai-ramai mengekspose isu ini, tanpa mempertimbangkan efek negatif bagi pemirsa yang kebetulan dekat secara emosional dengan Aa Gym dan Teh Ninih.
Baik Aa Gym atau Teh Ninih tak punya kuasa yang bisa mengendalikan media yang dulu telah membesarkan keduanya, untuk kemudian ramai-ramai mengajak publik mengecamnya. Bahkan dalam edisi khusus wawancara dalam Kick Andy, Aa Gym memang mendapatkan ruang untuk meng-counter apa yang sudah dipersepsikan oleh media. Tetapi di sini yang terjadi Aa Gym justru diberi ruang hanya untuk membela diri dan berbicara sebagai seorang terdakwa yang menyampaikan pleidoinya, alih-alih berdakwah, hal yang menjadi domain dan tugas utamanya sebagai dai.
Ditilik dari sini, Aa Gym sudah dipereteli senjatanya untuk melakukan dakwah, yakni kepercayaan publik muslim, lagi-lagi oleh media. Mungkin ada di antara pemirsa yang turut bersimpati kepada Aa Gym setelah menyaksikan apa yang sudah ia paparkan dalam tayangan di Kick Andy tersebut. Akan tetapi pemutaran-ulang episode khusus ini yang lebih dari sekali, lagi-lagi telah menghantam Aa Gym. Dengan berlindung di balik klaim “agar pemirsa yang belum sempat menonton bisa menontonnya”, ia telah diperalat, sekali lagi, dengan memanfaatkan rasa penasaran orang (yang terus direproduksi dalam thrillernya yang terus-menerus diputar), untuk diputar beberapa kali. Dalam kalkulasi bisnis, tentu pendapatan dari iklan bisa meningkat sedang biaya produksi nyaris nihil, karena hanya sekadar memutar ulang sebuah siaran.
Kedua, baik ekspos berlebihan infotainment ataupun ekspos Kick Andy terhadap prahara Aa Gym-Teh Ninih telah mendegradasi batas antara wilayah dakwah dengan wilayah hiburan (baca: infotainment). Memang fenomena gosip-menggosip tidak hanya dominasi media mainstream saja, karena masyarakat umum juga tak sedikit yang menggosip kyai tertentu atau mubaligh tertentu, ketika mereka berkumpul di tempat tertentu. Tetapi kondisinya menjadi berbeda ketika gosip-gosip ini direproduksi secara massal dengan kekuatan kapital dan disebarkan secara massal untuk dikonsumsi publik umum sebagai hiburan demi kepentingan komersial.
Ketika ia diproduksi untuk dikonsumsi sebagai hiburan, dalam hal ini media sedang melakukan dekonstruksi besar-besaran terhadap sakralitas dai dan mubaligh. Seorang dai atau mubaligh yang selayaknya dilekati dengan sifat dan perilaku terhormat, dan patut dijadikan teladan bagi publik, dalam infotainment ditampilkan sebagai manusia biasa yang tidak hanya bisa berbuat salah, melainkan layak untuk digunjingkan dan bahkan sesekali dikecam, secara berjamaah pula. Dan seperti asas (negatif) jurnalisme, bahwa bad news is good news, maka yang diberitakan dari figur publik, termasuk dai adalah hal-hal negatif saja.
Sebaliknya, ketika Aa Gym dan Teh Ninih kembali rujuk, berapa gelintir media yang mengekspose berita ini? Berapa program infotainment yang dulu mengenspos habis episode kritis dan klimaks prahara biduk rumah tangga Aa Gym mengekspos happy ending yang terjadi beberapa waktu lalu itu? Tak banyak memang. Apalagi pihak Aa Gym dan keluarga terkesan cenderung menutup akses publik terhadap kisah happy ending ini. Sikap ini menarik dicermati, mengapa hal positif ini justru dirahasiakan oleh Aa Gym dan keluarga?
Bukankah ia butuh melakukan klarifikasi kepada publik atas persepsi yang publik bangun tentang Aa Gym dan keluarganya yang selama beberapa tahun belakang cenderung negatif? Bukankah publik di sisi lain juga butuh akan kisah yang lengkap dan utuh atas kisah Aa Gym, agar publik bisa mendapatkan bangunan pengetahuan yang utuh dan mendapatkan pelajaran penting? Dan bukankah Aa Gym sebagai dai juga perlu mencontohkan hal positif kepada publik, bahwa siapa pun bisa terpeleset, tetapi bangun dari terpeleset adalah hal yang mutlak dilakukan. Apakah Aa Gym trauma dengan pemanfaatan media atas kisahnya? Ataukah ada pertimbangan lain yang murni bersifat personal?
Di sisi lain, ada hal yang patut dipersoalkan. Kalaupun seluruh media massa mengekspos kisah happy ending ini, apakah kepercayaan publik kepada Aa Gym akan pulih seperti sebelum ia terkena prahara? Kita tunggu saja pada Ramadhan yang akan datang sebentar lagi. Seberapa sering Aa Gym tampil (lagi) di layar kaca kita nantinya, sebanyak itulah tingkat kepulihan kepercayaan publik kepada Aa Gym. []
======
Disampaikan dalam diskusi dwipekan yang diselenggarakan oleh Yayasan Kodama Yogyakarta di Masjid Jami Kodama, Jalan KH Ali Maksum Krapyak Yogyakarta. Tulisan ini mengambil beberapa inspirasi dari Ariel Heryanto (ed.), Popular Culture in Indonesia, Fluid identities in Post-authoritarian Politics (London: Routledge, 2008), terutama untuk mengelaborasi gagasannya tentang pemetaan identitas-politik. Peta yang sudah dirintis Heryanto ini dikembangkan untuk membaca fenomena dakwah di televisi dalam esai ini. Esai ini dimuat-ulang dari http://pwnudiy.or.id/content/dakwah-dan-budaya-populer
M. Nasrudin, sedang menulis tesis tentang budaya populer dan hukum di Magister Hukum UII. Anak muda NU.
Budaya populer yang dibahas dalam tulisan ini hanya akan dikerucutkan dalam pemaknaan bahwa budaya tersebut diproduksi secara massal oleh industri untuk dikonsumsi secara massal juga oleh masyarakat. Dalam konsumsi ini, dibutuhkan media yang digunakan untuk menyajikan produk budaya kepada konsumen. Sehingga, pembahasaan kali ini tentu akan fokus pada objek media massa dalam sikapnya terkait agenda dakwah Islam, dan juga program acara mereka.
Logika Media
Televisi nyaris tak bisa dilepaskan dari masyarakat kita. Kotak bercahaya itu seakan jauh lebih akrab dengan kita ketimbang hal lain. Ia sudah masuk ke dalam ruang-ruang pribadi kita. Menguasai waktu kita. Laiknya lubang hitam ia menyedot perhatian kita secara penuh dalam serentengan waktu-waktu penting. Apa yang disajikan televisi ini menarik untuk dicermati, terutama kaitannya dengan pertama, bahwa orang Indonesia, yang menjadi konsumen adalah manusia Timur yang beragama, sebagian besar Islam.
Fakta di atas ini kemudian menjadikan ciri khas tersendiri, dan tidak bisa diabaikan oleh produsen program televisi yang ingin masuk ke dalam masyarakat, membetot perhatian mereka sehingga mendapatkan rating yang tinggi, yang ujung-ujungnya adalah mengundang sebanyak mungkin pengiklan untuk menampilkan iklan mereka di program-program yang ditayangkan. Pertanyaannya, seberapa jauh pengaruh religiusitas penonton menjadi bahan pertimbangan dalam memproduksi sebuah program terkait agenda dakwah Islam di televisi?
Kedua, bahwa salah satu tugas besar televisi adalah mencari keuntungan semaksimal mungkin. Caranya adalah dengan menampilkan program semenarik mungkin dan sesuai dengan kebutuhan pasar, meski tak jarang kebutuhan ini diciptakan, sesekali dipaksakan. Sehingga, program dakwah atau semangat dakwah yang ditampilkan dalam program dakwah menjadi hal yang menarik untuk dibedah. Bagaimana ideologi pasar dan ideologi agama bertemu dan bertransaksi menjadi menarik untuk dibahas lebih lanjut. Logika macam inilah yang digunakan pada nyaris seluruh media dalam frame budaya populer cum budaya massa.
Akar Identitas Islam di Media
Dari kedua alasan di atas, mari kita langsung menuju jantung persoalan. Dalam beberapa tahun belakangan ada pergeseran dalam tayangan televisi, terutama sinetron yang kian tampak santun-islami. Sesungguhnya gejala islamisasi di media ini sudah dimulai sejak awal 1990-an ketika pemerintah Orba di satu sisi mulai disorot rakyat karena indikasi praktik korupsi. Untuk mengimbangi sorotan ini, Orba mulai mendekati Islam. Didirikanlah Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), juga Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila dengan program pembangunan masjidnya.
Bahkan Soeharto dan keluarganya menunaikan ibadah haji dan secara dramatis digambarkan ia masuk ke dalam Kakbah. Yang tak kalah menarik, Mbak Tutut, putri Istana, mulai tampil di muka umum dengan mengenakan kerudung. Maka identitas-politik Islam kemudian mendapatkan ruang yang lebih leluasa, setelah nyaris dua dekade identitas-politik Islam dikekang dan tidak mendapat ruang. Dan kejatuhan Orba menjadi gong, ketika aspirasi islam politik dan identitasnya tampil di ruang publik, ruang politik, dan terutama media.
Fenomena dakwah melalui media massa juga mulai marak. Awal 1990-an ditandai dengan kelahiran koran yang terang-terangan berafiliasi kepada identitas Islam, Republika. Menariknya, Republika ini mendapat dukungan dari ICMI, yang di dalamnya banyak teknokrat yang cukup dekat dengan pemerintah Orba. Ketika Orba runtuh, Departemen Penerangan dibubarkan sehingga siapa pun bisa mengorganisir modal untuk menerbitkan media untuk tujuan dakwah. Kemunculan Web 2.0 juga memudahkan siapa pun untuk bisa turut berkontribusi dalam dakwah.
Di televisi, kita bisa melihat maraknya sinetron yang diisi oleh aktor yang berbaju koko serta aktris yang berjilbab, tak sekadar berkerudung. Ketika kemunculan Aa Gym yang fenomenal pada medio dekade 2000-an, nyaris setiap hari ia tampil di televisi secara bergantian dari satu stasiun ke stasiun yang lain. Tulisan-tulisannya juga tersebar di banyak suratkabar, situs, buku, majalah, dan terutama buletin Jumat yang diterbitkan oleh Darut Tauhid, pesantren yang ia asuh.
Fenomena Aa Gym
Apa yang disampaikan oleh Aa Gym dalam dakwahnya lebih berkisar pada bagaimana laku menjaga dan mengatur hati, agar kehidupan menjadi lebih bermakna (seperti yang sering ia utarakan ketika mengisahkan semangat kakaknya yang cacat fisik), lebih berhasil secara duniawi dan ukhrawi (seperti yang ia tampilkan dalam pesantren-karya Daarut Tauhid dan kesuksesannya mengelola banyak perusahaan), serta lebih tenang (bahkan ia mendengungkan hal ini ketika ia mulai undur dari ceramah publik, saat diwawancarai Andy F. Noya di Kick Andy).
Materi ceramah seperti ini sangat digandrungi masyarakat muslim. Terlihat dari rating ceramahnya tinggi pada setiap penampilannya yang nyaris setiap Ahad siang di salah satu stasiun televisi swasta. Buku-buku karya Aa Gym, meski sebagian di antaranya ditulis oleh ghostwriter, laris-manis bak kacang goreng. CD rekaman ceramahnya juga laris manis. Bahkan poster fotonya diburu banyak orang yang cenderung fanatik. Fanatisme dan terutama penerimaan publik yang sangat positif ini terkait dengan beberapa faktor.
Pertama, dibukanya kran politik menyebabkan pertarungan identitas merembet pada perebutan kursi di parlemen. Identitas politik Islam ada yang cenderung berupaya untuk mendapatkan kekuasaan, baik untuk menyalurkan aspirasi identitas islamnya atau aspirasi lain. Hal ini berimbas pada banyaknya tokoh Islam, terutama mubaligh dan kyai yang terjun ke dunia politik.
Dunia politik praktis, oleh sebagian besar orang dipandang sebagai dunia kotor, sehingga tidak layak untuk dimasuki oleh tokoh Islam yang seharusnya bersifat asketis dan iffah. Kita bisa melihat bagaimana citra dan kepercayaan publik kepada Dai Sejuta Umat, KH Zainuddin MZ amblas begitu saja ketika ia membesarkan PBR. Sementara itu, Aa Gym menampilkan citra ulama yang tidak tergiur oleh rayuan dunia politik. Sehingga publik muslim cenderung percaya dan menaruh simpati kepadanya.
Kedua, meski sudah dimulai sejak dekade 1970-an, banyak perempuan yang masuk ke dunia non-domestik, yang marak dengan wanita karier. Ada pandangan mainstream masyarakat yang mencap negatif wanita karier ini sebagai tidak taat ada suami, meninggalkan kewajiban rumah tangga, mengabaikan kewajiban pengasuhan anak dan melemparkan tanggung jawab kepada pembantu dan baby sitter. Tak jarang, keluarga seperti ini jauh dari apa yang disebut sakinah mawaddah dan wa rahmah.
Aa Gym dan istrinya, Teh Ninih yang sama-sama tampil di ranah publik berhasil mencontohkan keluarga yang harmonis, meski keduanya memiliki kesibukan dengan dunia publiknya. Bagaimana anak-anak mereka tumbuh dan diasuh oleh ibunya sendiri, bagaimana kemesraan dan rasa sayang Aa Gym diungkapkan, bahkan kerap dijadikan contoh dan bahan dakwah dalam ceramah. Keluarga mereka menjadi role-model bagaimana membangun keluarga. Meski akhirnya titik inilah yang menjadikan Aa Gym dilemparkan dari panggung media, ketika ia poligami dan Teh Ninih meminta cerai.
Pada titik ini ada dua hal yang menarik untuk dicermati. Pertama, soal pemberitaan prahara rumah tangga Aa Gym yang juga diramaikan dan diulas di program-program infotainment. Padahal, program-program ini biasanya hanya mengulas kasus yang melibatkan artis, bukannya da’i atau mubaligh. Dari sini kita bisa melihat bahwa lembaga mubaligh atau dai pun tak jauh beda dengan artis, di mana ia dihilangkan sisi humanismenya untuk kemudian dinikmati dan dikecam bersama. Dan media infotainment ramai-ramai mengekspose isu ini, tanpa mempertimbangkan efek negatif bagi pemirsa yang kebetulan dekat secara emosional dengan Aa Gym dan Teh Ninih.
Baik Aa Gym atau Teh Ninih tak punya kuasa yang bisa mengendalikan media yang dulu telah membesarkan keduanya, untuk kemudian ramai-ramai mengajak publik mengecamnya. Bahkan dalam edisi khusus wawancara dalam Kick Andy, Aa Gym memang mendapatkan ruang untuk meng-counter apa yang sudah dipersepsikan oleh media. Tetapi di sini yang terjadi Aa Gym justru diberi ruang hanya untuk membela diri dan berbicara sebagai seorang terdakwa yang menyampaikan pleidoinya, alih-alih berdakwah, hal yang menjadi domain dan tugas utamanya sebagai dai.
Ditilik dari sini, Aa Gym sudah dipereteli senjatanya untuk melakukan dakwah, yakni kepercayaan publik muslim, lagi-lagi oleh media. Mungkin ada di antara pemirsa yang turut bersimpati kepada Aa Gym setelah menyaksikan apa yang sudah ia paparkan dalam tayangan di Kick Andy tersebut. Akan tetapi pemutaran-ulang episode khusus ini yang lebih dari sekali, lagi-lagi telah menghantam Aa Gym. Dengan berlindung di balik klaim “agar pemirsa yang belum sempat menonton bisa menontonnya”, ia telah diperalat, sekali lagi, dengan memanfaatkan rasa penasaran orang (yang terus direproduksi dalam thrillernya yang terus-menerus diputar), untuk diputar beberapa kali. Dalam kalkulasi bisnis, tentu pendapatan dari iklan bisa meningkat sedang biaya produksi nyaris nihil, karena hanya sekadar memutar ulang sebuah siaran.
Kedua, baik ekspos berlebihan infotainment ataupun ekspos Kick Andy terhadap prahara Aa Gym-Teh Ninih telah mendegradasi batas antara wilayah dakwah dengan wilayah hiburan (baca: infotainment). Memang fenomena gosip-menggosip tidak hanya dominasi media mainstream saja, karena masyarakat umum juga tak sedikit yang menggosip kyai tertentu atau mubaligh tertentu, ketika mereka berkumpul di tempat tertentu. Tetapi kondisinya menjadi berbeda ketika gosip-gosip ini direproduksi secara massal dengan kekuatan kapital dan disebarkan secara massal untuk dikonsumsi publik umum sebagai hiburan demi kepentingan komersial.
Ketika ia diproduksi untuk dikonsumsi sebagai hiburan, dalam hal ini media sedang melakukan dekonstruksi besar-besaran terhadap sakralitas dai dan mubaligh. Seorang dai atau mubaligh yang selayaknya dilekati dengan sifat dan perilaku terhormat, dan patut dijadikan teladan bagi publik, dalam infotainment ditampilkan sebagai manusia biasa yang tidak hanya bisa berbuat salah, melainkan layak untuk digunjingkan dan bahkan sesekali dikecam, secara berjamaah pula. Dan seperti asas (negatif) jurnalisme, bahwa bad news is good news, maka yang diberitakan dari figur publik, termasuk dai adalah hal-hal negatif saja.
Sebaliknya, ketika Aa Gym dan Teh Ninih kembali rujuk, berapa gelintir media yang mengekspose berita ini? Berapa program infotainment yang dulu mengenspos habis episode kritis dan klimaks prahara biduk rumah tangga Aa Gym mengekspos happy ending yang terjadi beberapa waktu lalu itu? Tak banyak memang. Apalagi pihak Aa Gym dan keluarga terkesan cenderung menutup akses publik terhadap kisah happy ending ini. Sikap ini menarik dicermati, mengapa hal positif ini justru dirahasiakan oleh Aa Gym dan keluarga?
Bukankah ia butuh melakukan klarifikasi kepada publik atas persepsi yang publik bangun tentang Aa Gym dan keluarganya yang selama beberapa tahun belakang cenderung negatif? Bukankah publik di sisi lain juga butuh akan kisah yang lengkap dan utuh atas kisah Aa Gym, agar publik bisa mendapatkan bangunan pengetahuan yang utuh dan mendapatkan pelajaran penting? Dan bukankah Aa Gym sebagai dai juga perlu mencontohkan hal positif kepada publik, bahwa siapa pun bisa terpeleset, tetapi bangun dari terpeleset adalah hal yang mutlak dilakukan. Apakah Aa Gym trauma dengan pemanfaatan media atas kisahnya? Ataukah ada pertimbangan lain yang murni bersifat personal?
Di sisi lain, ada hal yang patut dipersoalkan. Kalaupun seluruh media massa mengekspos kisah happy ending ini, apakah kepercayaan publik kepada Aa Gym akan pulih seperti sebelum ia terkena prahara? Kita tunggu saja pada Ramadhan yang akan datang sebentar lagi. Seberapa sering Aa Gym tampil (lagi) di layar kaca kita nantinya, sebanyak itulah tingkat kepulihan kepercayaan publik kepada Aa Gym. []
======
Disampaikan dalam diskusi dwipekan yang diselenggarakan oleh Yayasan Kodama Yogyakarta di Masjid Jami Kodama, Jalan KH Ali Maksum Krapyak Yogyakarta. Tulisan ini mengambil beberapa inspirasi dari Ariel Heryanto (ed.), Popular Culture in Indonesia, Fluid identities in Post-authoritarian Politics (London: Routledge, 2008), terutama untuk mengelaborasi gagasannya tentang pemetaan identitas-politik. Peta yang sudah dirintis Heryanto ini dikembangkan untuk membaca fenomena dakwah di televisi dalam esai ini. Esai ini dimuat-ulang dari http://pwnudiy.or.id/content/dakwah-dan-budaya-populer
M. Nasrudin, sedang menulis tesis tentang budaya populer dan hukum di Magister Hukum UII. Anak muda NU.
Comments