Pada tulisan sebelumnya kita sudah membincang tiga mediabersuci yakni air, debu, dan batu dengan berbagai kriteria dan prosedurpemanfaatannya. Ketiga yang pertama tadi merupakan media yang lazim digunakan
oleh hampir seluruh umat Islam. Sementara itu, dua media bersuci yang akan
dibahas dalam artikel ini relatif jarang digunakan. Kedua terakhir ini bukanlah
sebuah benda, melainkan proses. Ada dua proses yang bisa membuat satu benda
najis menjadi suci yakni penyamakan dan perubahan khamr menjadi cuka.
Penyamakan
Secara prinsip syariat, seluruh bangkai diberi status najis.
Bangkai adalah seluruh binatang yang halal dimakan tapi mati tanpa melalui
prosedur penyembelihan secara syar’iy. Ketentuan ini mencakup pula binatang
yang haram dimakan meskipun disembelih secara syari. Ketentuan ini
mengecualikan dua jenis binatang: (i) binatang yang hanya bisa hidup di air dan
(ii) binatang darat yang dalam tubuhnya tidak terdapat darah merah yang kasat
mata dan mengalir. Maka bangkai ikan dan semut, misalnya oleh syariat tidak
diberi status bangkai yang najis. Bahkan bangkai ikan halal dimakan meski tanpa
penyembelihan secara syar’iy.
Catatan tambahannya adalah meskipun seluruh bangkai diberi
status hukum najis, kita masih diperkenankan untuk mengambil manfaat dari
bangkai tersebut. Pemanfaatan ini terbatas pada pemanfaatan yang bersifat tidak
langsung, misalkan untuk pupuk tanaman atau yang lainnya. Adapun pemanfaatan
yang bersifat langsung secara umum tidak diperkenankan. Tetapi masih ada satu
celah pengecualian yang memungkinkan pemanfaatan secara langsung.
Yang bisa dimanfaatkan hanyalah kulit bangkai melalui
prosedur tertentu yang diatur oleh syariat. Prosedur ini disebut penyamakan
kulit. Sebetulnya, prosedur ini sudah bersifat purba, artinya ini menjadi
keterampilan manusiza zaman dahulu kala sebelum Islam hadir. Namun demikian,
Islam kemudian memberlakukan dan memberikan bingkai bagi prosedur tersebut.
Secara prinsipil, prosedurnya adalah dengan menguliti
binatang tersebut. Kemudian membersihkan sisa daging, lemak, dan darah dan
benda lain yang menyebabkan pembusukan yang masih menempel pada kulit tersebut. Setelah itu, kulit digosok
dengan cairan atau ramuan samak. Ramuan ini bisa digantikan dengan segala
sesuatu yang berasa pedas, meskipun najis seperti kotoran burung merpati.
Kulit kemudian direndam selama beberapa waktu untuk dicuci
bersih dan dijemur. Jika sudah kering, kulit bisa dimanfaatkan dan diberi
status hukum suci. Dengan demikian, kulit tersebut boleh dijahit menjadi jaket
lalu dikenakan untuk salat dan salatnya dihukumi sah. Meskipun demikian, kulit
ini secara entitas tetap berupa bangkai sehingga haram dimakan, tetapi suci
sehingga bisa dikenakan.
Pertanyaannya, mengapa kulit bisa dimanfaatkan sementara
seluruh bagian tubuh binatang tersebut haram dimanfaatkan? Sebagian ulama
berpendapat bahwa kulit bagi hewan disamakan dengan baju bagi manusia. Ketika
hewan tersebut mati, maka status kulitnya seperti baju mutanajis atau baju suci
yang terkena najis. Maka, proses penyamakan adalah menghilangkan najis yang
melekat pada “baju suci” tersebut.
Proses Menjadi Cuka
Secara prinsip dasar syariat, arak atau khamr dan segala
macam jenisnya yang memabukkan adalah haram dikonsumsi. Tidak hanya itu, arak
tersebut juga diberi status hukum najis. Maka misalnya ketika ada bagian tubuh
atau pakaian kita yang terkena percikan atau ceceran khamr lalu kita salat,
maka salatnya tidak sah. Karena kita tidak memenuhi syarat sah salat, yakni
suci dari najis.
Kendati demikian, ketika arak berubah menjadi asam cuka maka
sifat memabukkannya menjadi hilang. Dengan demikian, illat (kausa hukum)
yang menyebabkan ia haram dan najis menjadi hilang. Sebab itulah, asam cuka
oleh syariat diberi status hukum suci dan boleh dikonsumsi secara bebas. Pakaian
kita yang terkena percikan cuka bisa kita gunakan untuk salat, misalnya, karena
ia tetap dihukumi suci.
Lalu apakah seluruh proses perubahan menjadi cuka bisa
dibenarkan oleh syariat? Dalam fikih mazhab Syafii, proses perubahan tersebut
harus terjadi secara alamiah. Sehingga jika seseorang memasukkan ramuan atau
zat tertentu ke dalam arak sehingga arak berubah menjadi cuka, maka hal ini
tidak dibenarkan sehingga statusnya masih dianggap najis oleh syariat, meskipun
sudah tidak memabukkan lagi.
Prinsip semacam ini kemudian oleh beberapa ulama digunakan
untuk memberikan status hukum bagi zat-zat lain yang pada asalnya najis
kemudian secara alami berubah bentuk dan sifatnya sedemikian rupa sehingga
bentuk dan sifat asal benda tersebut sudah tidak tersisa lagi. Hal ini biasanya
terjadi pada bidang farmasi yang menggunakan ramuan atau zat tertentu yang
semula najis hingga hilang sifat dan bentuknya.
Demikianlah kelima media bersuci yang digunakan dan
berterima dalam fikih. Ketika kita sudah mensucikan dari hadats dan najis, maka
kita sudah memenuhi syarat dasar bagi sahnya sebuah ibadah. Selanjutnya,
tinggal kita melengkapi syarat-syarat sah lain yang dibutuhkan. []
Pemantik diskusi di kelas Fikih Ibadah STIQ An-Nur
Yogyakarta
Comments