Tayamum dalam fikih dikenal sebagai salah satu alternatif
dalam bersuci. Ia menjadi ganti bagi mandi dan wudhu dalam kondisi tidak ada
air atau ketika ada halangan yang menyebabkan seseorang tidak bisa menggunakan
air. Tayamum memanfaatkan debu sebagai media bersuci sebagai ganti dari air.
Penggunaan debu ini adalah kekhususan yang diberikan kepada syariat Nabi
Muhammad saw.
Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah fungsi dasar
tayamum sebetulnya tidak bisa digunakan untuk mensucikan diri dari hadats (kecil). Setelah
bertayamum sekalipun, status seseorang masih dalam kondisi hadats. Posisi
tayamum hanyalah sebagai media untuk mendapatkan dispensasi sehingga seseorang
bisa menjalankan ibadah yang mensyaratkan status suci dari hadats besar dan/atau
kecil, semisal salat, tawaf, menyentuh mushaf, sujud tilawah, dan sebangsanya.
Sebagai alternatif yang berisifat darurat, maka kondisi
darurat harus benar-benar terwujud sebelum seseorang bertayamum. Bahkan dalam
kondisi tidak ada air atau karena tak boleh menggunakan air, seseorang tidak
bisa begitu saja bertayamum. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Ia hanya
bisa bertayamum ketika waktu salat sudah masuk. Jika ia tayamum untuk salat
zuhur, seserang baru boleh bertayamum ketika waktu zuhur sudah masuk. Mengapa
harus demikian? Karena jika waktunya masih longgar, maka unsur darurat belum terwujud.
Bagi orang yang bertayamum lantaran tidak ada air, setelah
waktu salat masuk ia tidak bisa langsung bertayamum. Ia harus keluar dari
kediamannya guna mencari air dan memastikan bahwa air tidak tersedia. Kediaman
di sini bisa bermakna rumah, kontrakan, kost, pondokan, asrama, hotel, kemah,
atau pos perhentian di mana ia berada. Jika di area tersebut kontur tanahnya
datar, ia harus mencari air dengan jarak tempuh sekira 2,6 km untuk masing-masing
empat arah mata angin. Jika berada di area yang tidak rata, ia harus mencari air
di keempat penjuru mata angin yang mungkin dijangkau.
Kewajiban mencari air ini dikecualikan jika berdasarkan
pengamatan seseorang yakin bahwa air tidak bakal ditemukan di area tersebut. Sama
halnya ketika ia berhasil menemukan air, namun jika ia menuju air tersebut ada
bahaya yang mengancam diri, teman, atau harta yang ia miliki atau yang wajib ia
jaga. Misalnya di area air tersebut terdapat binatang buas, musuh yang
mengancam, atau jika ia khawatir terhadap harta, teman, atau kerabat yang ia
tinggalkan, maka ia boleh bertayamum.
Bagi orang yang secara medis tidak boleh tersentuh air ia
tidak harus mencari air. Meskipun di situ air berlimpah, ia bisa tetap
bertayamum. Terhadap orang semacam ini, ia membutuhkan pendapat dokter yang
benar-benar adil yang memvonis bahwa ia tidak boleh bersentuhan dengan air.
Jika tubuh bersentuhan dengan air maka berpotensi menghilangkan nyawa atau
hilangnya fungsi anggota tubuh, atau penyakitnya menyebar ke area yang lebih
luas sehingga susah sembuh. Jika sudah darurat begini, maka ia boleh bertayamum.
Status darurat ini juga merembet pada niat yang diikrarkan
dalam tayamum. Niat tayamum bukanlah untuk menghilangkan hadats (raf’
al-hadats) sebagaimana wudhu atau mandi besar. Ketika seseorang berwudhu, misalnya,
seseorang masuk ke dalam status suci sampai ia hadats lagi. Dalam status suci dari
hadats kecil ini, seseorang boleh menjalankan sebanyak mungkin ibadah yang
mensyaratkan suci dari hadats kecil sebanyak yang ia mau tanpa batasan apa pun.
Hal ini berbeda dengan tayamum yang posisinya sebagai media
untuk memohon dispensasi. Tayamum hanya bisa dipergunakan untuk menunaikan
ibadah seperti yang diminta dalam niat tayamum. Jika seseorang bertayamum
meminta dispensasi untuk salat Zuhur, maka tayamum tadi hanya sah untuk salat
Zuhur dan beberapa salat sunah yang mengiringinya, tidak bisa untuk salat Asar
atau Maghrib.
Sebab itulah ungkapan permohonan dispensasi (baca: niat) harus
konkret dan jelas. Jika apa yang diminta tidak jelas, maka permohonan yang
dikabulkan adalah permohonan yang berada dalam status paling minimal atau
rendah. Misalnya seseorang bertayamum meminta dispensasi untuk “salat” saja
tanpa menyebut kata “fardhu” atau “sunah”, maka ia hanya mendapatkan dispensasi
boleh menunaikan salat “sunah” saja, bukan salat fardhu, karena yang rendah
adalah sunah.
Dalam tayamum, ada tiga kelas permohonan (baca: niat) yang
terstruktur secara hierarkhis. Kelas 1 adalah ibadah yang bersifat fardhu
mencakup salat fardhu, tawaf fardhu, dan khutbah Jumat. Kelas 2 adalah ibadah
sunnah mencakup salat sunnah, tawaf sunnah, dan salat jenazah meskipun asal
hukumnya fardhu kifayah. Kelas 3 adalah menyentuh dan membawa mushaf al-Quran,
sujud tilawah, sujud syukur, dan sebangsanya.
Jika seseorang meminta dispensasi untuk ibadah kelas 1, maka
ia hanya bisa menunaikan 1 buah ibadah kelas 1 dan berbagai ibadah kelas 2 dan
ibadah kelas 3. Jika seseorang bertayamum meminta dispensasi untuk ibadah kelas
2, maka ia hanya bisa menunaikan 1 buah ibadah kelas 2 dan beberapa ibadah
kelas 3. Jika ia bertayamum meminta dispensasi untuk ibadah kelas 3, maka ia
hanya mendapatkan dispensasi kelas 3 saja.
Catatan yang harus diperhatikan adalah seseorang hanya bisa
mendapatkan dispensasi untuk 1 buah ibadah di kelas yang ia minta. Maka dalam
salat jamak, seseorang harus bertayamum untuk masing-masing salat. Jadi setelah
selesai salat Zuhur, ia harus segera bertayamum lagi untuk salat Asar yang
dijamak. Demikian halnya khatib salat Jumat. Ia harus bertayamum untuk khutbah
Jumat lalu bertayamum lagi untuk salat Jumat.
Hal ini mengecualikan tayamum sebagai ganti dari mandi besar. Dalam konteks ini, tayamum menjadi ganti yang bersifat mutlak. Maksudnya adalah sekali seseorang bertayamum untuk mensucikan diri dari hadats besar, ia akan terus berstatus suci dari hadats besar sampai ia berstatus hadats besar lagi. []
Hal ini mengecualikan tayamum sebagai ganti dari mandi besar. Dalam konteks ini, tayamum menjadi ganti yang bersifat mutlak. Maksudnya adalah sekali seseorang bertayamum untuk mensucikan diri dari hadats besar, ia akan terus berstatus suci dari hadats besar sampai ia berstatus hadats besar lagi. []
Disampaikan di kelas Fath al-Qarib al-Mujib Ponpes
Ali Maksum Krapyak Yogyakarta.
Comments