Salah satu sifat wajib bagi Allah swt adalah maha mengetahui
(al-ilm). Sifat ini bermakna bahwa pengetahuain Allah swt meliputi
segala sesuatu tanpa kecuali dan tanpa batas. Tak ada satu hal pun yang luput
dari pengetahuan dan penemuan Allah swt. Dalam satu riwayat dinyatakan bahwa Allah
swt mengetahui setiap desir udara, setiap daun yang gugur, bahkan seekor semut
hitam kecil di atas batu hitam di tengah gurun di tengah gulita malam.
Sifat maha mengetahui ini termasuk satu dari dua puluh sifat
wajib bagi Allah swt. Pengertian wajib di sini bukan berarti bahwa Allah swt harus
bersifat maha mengetahui dan jika tidak maha mengetahui kemudian Allah swt berdosa.
Tidak demikian. Wajib di sini tidak dalam kerangka hukum syar’iy
melainkan berada dalam koridor hukum aqly. Artinya, wajib di sini
dikonstruk dalam pengertian rasio bahwa tidak logis jika Allah tidak maha mengetahui
atas segala sesuatu. Karena jika tak maha mengetahui tak mungkin Ia bersifat
maha berkehendak, maha berkuasa dan seterusnya.
Terkait hal ini, ada tiga aspek sifat maha mengetahui. Pertama,
bahwa pengetahuan Allah swt bersifat mutlak 100% tanpa kecuali dan tanpa batas.
Kedua, bahwa tidak ada makhluk lain yang memiliki pengetahuan yang
setara atau serupa dengan pengetahuan Allah swt. Ketiga, bahwa
pengetahuan Allah swt tidak diperoleh dari hasil bekerjasama atau berbagi-tahu dengan
makhluk. Allah swt memiliki pengetahuan berdasar pengetahuan-Nya sendiri.
Lantaran sifat ini, maka Allah swt mustahil bersifat bodoh (al-jahl)
atau tidak mengetahui, atau segala sifat yang diturunkan dari ketidaktahuan. Tidak
tahu atau bodoh sendiri bisa diklasifikasikan ke dalam dua tingkatan. Yang paling
bawah adalah bodoh biasa (jahl basith) dan yang paling atas adalah bodoh
kuadrat (jahl murakab). Yang pertama adalah kondisi di mana tidak ada
pengetahuan sama sekali tentang satu objek. Sementara yang kedua adalah di mana
pengetahuan yang dimiliki ternyata berbeda dengan fakta empiris.
Kemudian, sifat tidak-tahu memiliki tiga turunan, yakni dugaan
(dzan), keraguan (syakk), dan salah duga (wahm). Ketiga sifat
turunan ini terjadi ketika ada dua informasi terhadap satu objek yang salah
satu di antaranya memiliki kemungkinan untuk benar sedangkan satu di antaranya
mungkin salah. Misalnya pengetahuan tentang kucing. Seseorang memiliki dua
pengetahuan terhadap kucing: (a) kucing berbunyi meong, dan (b) kucing
berbunyi mbeek.
Jika seseorang ragu atas dua pengetahuan tersebut namun pada
akhirnya lebih condong (51%-99% keyakinan) pada (a) maka ini disebut dugaan (dzan).
Hal ini karena kecenderungan (a) lebih dekat kepada pengetahuan yang benar. Jika
ia lebih condong (51%-99% keyakinan) terhadap (b) maka ini disebut salah duga (wahm).
Hal ini karena pengetahuannya lebih condong pada kekeliruan. Sementara jika kedua
pengetahuan tersebut berada pada dua titik yang seimbang (50% dan 50%) ini
disebut keraguan (syakk).
Semua bentuk ketidaktahuan dan turunannya ini tidak pernah
ada dan tidak akan pernah terjadi pada Allah swt. Maha suci Allah swt dengan
kesempurnaan-Nya dalam segala sifat, perbuatan, dan dzat-Nya. []
Bahan bacaan
-
Ibrahim Al-Bajuri, Syarah
Matan Sanusiyah, (Semarang: Toha Putra, tt).
- Nawawi bin Umar Al-Bantani, Syarah
Qathr al-Ghays, (Semarang: Toha Putra, tt).
-
Nawawi bin Umar Al-Bantani, Syarah
Tijan Dirari, (Semarang: Toha Putra, tt).
Disampaikan di kelas Ilmu Tauhid Ponpes Bintan Saadillah
Ar-Rasyid Yogyakarta.
Comments