Tiada ikhtilaf di kalangan umat Islam bahwa puasa Ramadhan
menjadi salah satu pilar (rukun) dalam Islam. Ia juga merupakan sebuah ibadah
yang memiliki status hukum fardhu ain. Artinya, puasa merupakan kewajiban yang bersifat individu, melekat kepada masing-masing dan setiap muslim.
Tetapi satu pertanyaan yang perlu dijawab adalah, apakah
setiap manusia berkewajiban untk menunaikan ibadah puasa Ramadhan?
Tentu saja tidak.
Karena tidak setiap orang mendapatkan khitab untuk
menunaikan ibadah puasa pada bulan Ramadhan sebagai sebuah kewajiban. Hanya
orang-orang yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang ketiban sampur
untuk menunaikannya. Apa saja itu?
Ada tiga syarat primer yang jika ketiga syarat ini terpenuhi
maka puasa Ramadhan menjadi wajib atasnya. Ketiganya adalah (i) muslim; (ii) baligh;
dan (iii) berakal sehat.
Pertama, muslim. Ini sangat jelas. Bahwa puasa
Ramadhan hanya diwajibkan kepada umat Ilsam, bukan umat lain. Al-Quran sendiri memulai
ayatnya dengan “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan untuk kamu berpuasa.”
Jelas ya, puasa ditujukan untuk umat Islam atau mukmin. (Memang muslim dan
mukmin itu berbeda, nanti akan dibahas pada kesempatan lain).
Tegasnya, warga nonmulism asli tidak berkewajiban menunaikan
ibadah puasa. Baru ketika ia masuk Islam, puasa menjadi wajib baginya. Dalam
konteks ibadah, seorang yang baru masuk Islam atau mualaf dianggap seperti bayi
yang baru lahir. Semuanya dihitung dari angka nol. Maka ia tidak berkewajiban
untuk melunasi puasa dan seluruh ibadah mahdlah yang ia tinggalkan
selama ia belum menjadi muslim.
Hal ini berbeda dengan seorang muslim yang mengonversi
agamanya menjadi nonmuslim, atau yang biasa disebut dengan murtad. Dalam
konteks ini, selama ia berada pada status nonmulism, ia masih dikenakan
kewajiban menjalankan berbagai ibadah, seperti puasa, zakat, dan salat. Hal ini
meskipun jika ia menjalankannya tetap dianggap tidak sah karena tidak menetapi
syarat sah ibadah.
Ketika kelak ia mengonversi agamanya menjadi Islam kembal, ia
harus melunasi seluruh hutang ibadah yang ia tinggalkan selama ia menetapi
agama nonIslam tersebut.
Kedua, balig. Balig adalah dewasa secara biologis.
Indikasinya adalah dengan matangnya alat-alat reproduksi. Bagi laki-laki, ia
sudah bisa memproduksi sel sperma yang lazimnya dikeluarkan saat mimpi basah.
Bagi perempuan, ia sudah bisa memproduksi sel telur yang jika tidak dibuahi
akan luruh menjadi darah haid.
Selain berdasar tingkat kedewasaan biologis, balig juga bisa
ditandai dengan masuknya usia 15 tahun. Jadi meskipun seseorang belum tampak
dewasa secara biologis tapi ia sudah berusia 15 tahun maka dalam hukum Islam,
ia sudah dianggap balig.
Dari sini kita jadi mengerti bahwa anak yang belum balig
belum berkewajiban menunaikan ibadah puasa. Meskipun demikian, ia dianjurkan
untuk belajar berpuasa, kendati tidak penuh. Misalnya ia berpuasa setengah hari
dengan berbuka pada pukul 12.00 lalu melanjutkan puasanya sampai Maghrib
menjelang. Setelah lancar dan terbiasa, ia bisa memundurkan jam makan siang satu
jam per tiga atau empat hari sekali. Sehingga lama-kelamaan ia akan bisa
berpuasa sehari penuh.
Ketiga, aqil atau berakal sehat. Fungsi psikis
dan kognitif dalam kondisi sehat dan berfungsi penuh. Orang yang memiliki problem kesehatan mental
tidak berkewajiban menunaikan ibadah puasa. Misalnya gila, idiot, down
syndrom, dan semacamnya. Ketika suatu saat ia sembuh, ia dianggap seperti
anak yang baru saja dilahirkan. Artinya, baginya tidak berlaku kewajiban untuk
melunasi puasa ataupun salat yang ia tinggalkan selama dalam kondisi kurang
akal.
Nah, ketika ketiga kriteria ini sudah terpenuhi maka puasa
Ramadhan menjadi wajib. Dalam konteks hukum Islam, orang yang sudah memenuhi
ketiga kriteria ini disebut dengan mukallaf atau orang yang mendapatkan
beban tasyri’. Dalam bahasa hukum, ia sudah menjadi subjek hukum yang
sempurna. Baginya sudah berlaku hukum-hukum syariat. Apa pun yang terjadi.
Dispensasi Puasa
Dalam hal ketiga syarat sudah terpenuhi, tidak serta merta orang tersebut harus menunaikan puasa saat itu juga. Ada dua hal yang jika salah satunya
terwujud, maka seseorang mendapatkan keringanan atau rukhsoh untuk tidak
menunaikan ibadah puasa.
Kedua kriteria tersebut adalah: bepergian (safar) dan tidak
kuasa berpuasa (ghair ithaqah). Jika seseorang adalah musafir atau dalam perjalanan, maka iaboleh tidak berpuasa. Perjalanan di sini adalah perjalanan yang lebih dari 85
km, dengan tujuan yang baik, dan keberangkatannya sudah dimulai sejak sebelum
fajar. InsyaAllah kita bahas pada pembahasan selanjutnya.
Demikian halnya orang yang tidak mampu berpuasa karena lemah
fisiknya maka ia boleh tidak berpuasa. Contohnya adalah ibu yang sedang hamil
atau menyusui, orang yang sakit parah, dan orang yang sudah sangat sepuh.
Bagi
ibu hamil atau ibu menyusui, jika ia khawatir dengan kesehatan dirinya dan bayinya, maka ia harus mengganti puasa pada hari di luar Ramadhan. Sedangkan jika ia khawatir akan kesehatan dirinya saja atau kesehatan bayinya saja, maka selain berkewajiban mengganti puasa, ia juga harus membayar fidyah sebesar 1 mud (sekira 700 gram beras) per hari ia tak puasa dan diserahkan kepada fakir miskin terdekat.
Dalam konteks seseorang terserang penyakit yang secara medis
kesempatan untuk sembuhnya sangat kecil atau orang yang sudah sangat sepuh,
maka baginya tidak ada kewajiban untuk mengganti puasa yang ditinggalkan. Hal ini karena kesempatan untuk itu sangat langka.
Baginya hanya diwajibkan untuk
membayar fidyah dengan ketentuan sama seperti di atas. Bagaimana jika ia tidak
memiliki kemampuan untuk itu? Maka keluarga dan ahli warisnya yang berkewajiban
membayarkan fidyah atas nama dirinya.
Demikian semoga bermanfaat. Wallaahu a'lam.
===================
Materi ini disampaikan pada program Kodama Berbagi di Radio Istakalisa 96.2 FM tanggal 15 Juni 2016 pukul 16.00-17.00 WIB.
Comments