=== الخُطْبَةُ
الأُولَى ===
اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ
أَكْبَرُ
اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ
أَكْبَرُ
اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ
أَكْبَرُ، وللهِ الحمدُ
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَتَمَّ لَنَا شَهْرَ
الصِّيَامِ، وَأَعَانَنَا فِيْهِ عَلَى الْقِيَامِ، وَخَتَمَهُ لَنَا بِيَوْمٍ
هُوَ مِنْ أَجَلِّ الْأَيَّامِ، وَنَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، الواحِدُ الأَحَدُ، أَهْلُ الْفَضْلِ وَالْإِنْعَامِ،
وَنَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ إلَى جَمِيْعِ
الْأَنَامِ، اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى
سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ التَّوْقِيْرِ
وَالْاِحْتِرَامِ، وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ
بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهاَ
الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ
وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ
وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ، وَيَغْفِرْ لَكُمْ
ذُنُوْبَكُمْ، وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ
أَكْبَرُ
Jamaah idul fitri yang dimuliakan Allah,
Mengawali khutbah ini, khatib berpesan kepada diri sendiri dan kepada sekalian jamaah
untuk meningkatkan iman dan takwa kepada Allah swt.
Ittaqillah haqqa tuqaatih. Bertakwa dengan sebenar-benarnya
takwa.
Ittaqillaha haitsuma kunta. Bertaqwalah di mana pun dan kapan pun kita berada.
* * *
Jamaah idul fitri yang dilindungi Allah,
Bayangkan
kita sedang membawa segenggam beras. Lalu kita sebarkan di hadapan sekumpulan
ayam. Apa yang terjadi? Kita bisa pastikan bahwa ayam-ayam itu akan berkerumun,
berebut beras yang kita tebarkan tadi. Tidak ada yang seekor ayam pun yang
berdiam di pojokan kecuali ayam yang sakit. Semua berebut seolah semua itu
adalah miliknya sendiri.
Sekarang
bayangkan hal lain.
Suatu
ketika kita masuk ke dalam suatu ruangan. Tak ada siapa-siapa di situ. Tapi di
atas meja terdapat segelas teh hangat. Apa yang kita lakukan? Apakah kita
langsung meminum teh tersebut? Belum tentu. Boleh jadi kita akan berpikir, teh
ini milik siapa? Teh ini disiapkan untuk siapa? Untuk saya atau untuk siapa? Apakah
saya berhak untuk meminum teh ini? Jika saya berhak atas teh ini, apakah
minuman ini baik bagi tubuh saya atau justru sebaliknya?
Beragam
pertimbangan muncul sebelum akhirnya kita memutuskan sesuatu: meminumnya atau
tidak. Begitulah manusia. Inilah fitrah manusia yang pertama.
Manusia
oleh Allah swt diberi anugerah berupa momentum jeda antara membuncahnya hasrat
dan pemenuhan atas hasrat tersebut. Momentum jeda inilah yang membedakan
antara manusia dengan makhluk lain. Ketika beras tersebar, ayam akan langsung
menyantapnya tanpa berpikir apakah ini disajikan untuknya atau bukan. Apakah
beras ini halal atau tidak. Apakah beras ini beracun atau tidak. Tidak pernah
ada pertimbangan.
Tetapi
manusia berbeda. Manusia memiliki pertimbangan sebelum memutuskan atau
melakukan suatu tindakan. Inilah keunikan atau fitrah manusia yang pertama.
Allah
mewajibkan kita berpuasa, salah satunya untuk melatih kita agar kita lebih
tajam dan insaf terkait momentum jeda ini. Air minum dan makanan milik
kita sendiri yang jelas-jelas halal tidak kita konsumsi jika memang batas
berbuka belum tiba. Apalagi makanan dan minuman yang tidak jelas asal-usulnya,
apalagi makanan yang jelas-jelas haram.
Mengasah
momentum jeda melatih kita untuk menjadi pribadi yang matang dan dewasa.
Tidak reaksioner dalam merespons segala sesuatu. Kita tidak cepat marah. Tidak
gampang menyalahkan orang lain, apalagi sampai menunjuk orang lain sebagai
sesat atau kafir. Kalau ada informasi yang berpotensi membuat fitnah segera
bertabayun dan tidak langsung menyebarkannya.
Inilah
fitrah yang pertama.
Jamaah idul fitri yang dirahmati Allah,
Jika
kita menyebar beras sebanyak satu karung sementara ayamnya hanya tiga ekor,
maka beras tadi akan tersisa banyak. Karena ayam hanya akan mengonsumsi sebatas
kebutuhan biologisnya. Tidak pernah ada cerita di mana ayam membawa pulang sekantong
plastik beras dan disimpan di kandangnya untuk dikonsumsi esok hari. Tegasnya, binatang
hanya akan mengambil sebatas kebutuhan biologis untuk mempertahankan hidupnya.
Tidak lebih.
Tetapi
berbeda dengan manusia. Diberi satu kantong plastik beras, kita terima. Diberi
satu karung beras, kita bawa pulang. Diberi satu truk pun, tetap kita ambil. Lalu
bagaimana cara memakan beras sebanyak itu? ah... itu urusan nanti. Kan bisa
dibuat snack dan penganan yang bisa tahan lama. Kan bisa disimpan untuk
konsumsi bulan depan. Kan bisa dijual kembali. Begitulah manusia.
Inilah
fitrah manusia yang kedua.
Manusia
memiliki kemampuan untuk mengonsumsi segala sesuatu melampaui kebutuhan
biologisnya. Untuk menahan diri dari hawa dingin dan panas, manusia mengenakan
pakaian. Tapi model dan motifnya yang berbeda-beda tentu bukan untuk melindungi
tubuh, melainkan untuk memberikan nilai tambah bagi kehidupan.
Untuk
menahan diri dari terik matahari dan hujan, manusia membangun rumah. Tapi model
dan jenisnya yang beraneka rupa, juga tata kota yang rapi tentu bukan untuk
menahan hujan dan terik matahari semata. Jika diarahkan secara positif, fitrah
kedua ini mengandung unsur penting untuk pengembangan peradaban dan kebudayaan
manusia.
Namun
demikian, jika tidak dikelola dengan baik, fitrah manusia yang kedua ini akan
membawa kehancuran dan malapetaka.
Karena
ingin mendapatkan nilai yang bagus tapi malas belajar, seorang pelajar dengan
mudah mencontek saat ujian. Karena ingin memiliki baju baru dan kendaraan baru
sementara THR tak kunjung cair, orang bisa saja mencari jalan pintas meski
melanggar norma dan hukum. Karena ingin memiliki rumah baru sementara gajinya
tidak cukup, seseorang bisa saja korupsi. Menabrak norma, menabrak batas,
melanggar hukum, melanggar aturan agama. Begitu seterusnya.
Naudzubillah.
Sebab
itulah, Allah swt memerintahkan kita berpuasa. Salah satunya agar kita sadar.
Bahwa sebanyak apa pun meja makan kita penuhi makanan dan minuman, ketika azan
maghrib bergema toh kita hanya sanggup mengonsumsi seukur lambung kita. Selebihnya
sia-sia. Di sinilah sekali lagi Allah mengingatkan kita akan pentingnya
mengenal dan menginsafi batas.
Allah
berfirman dalam Surat Al-An’am 161,
... كُلُوا مِن ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ
ۖ وَلَا تُسْرِفُوا ۚ
إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
... Makanlah dari
buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di
hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah
kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang
berlebih-lebihan.
Jamaah idul fitri yang berbahagia,
Selama tiga puluh hari genap, kita dilatih untuk lebih menginsafi momentum jeda dan batas-batas ini. Maka salah satu bukti kesuksesan puasa Ramadhan kita adalah ketika kita makin sadar dan insaf akan momentum jeda dan batas-batas ini.
Al-Quran
dalam surat Al-Baqarah 183 menegaskan salah satu tujuan berpuasa:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ
عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertakwa.
Bertakwa
lazim dipahami sebagai imtitsâl awâmirillâh wajtinâbu nawâhîhi, menjalankan
perintah Allah dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya. Untuk bisa
menjalankan takwa ini, maka syarat mendasar yang harus kita ketahui adalah
mengenal batas-batas. Mana saja yang diperintahkan, mana saja yang dilarang.
Mana batas kita sebagai hak pribadi, mana batas kita sebagai makhluk sosial. Kesadaran
akan batas akan berimbas pada kesadaran pada posisi dan tanggung jawab yang
kita emban.
Atas
kesadaran batas dan sadar posisi kemudian kita bertindak secara adil dan bijak.
Untuk bisa adil dan bijak, kita harus mampu dan terlatih menginsafi momentum
jeda tadi.
Ketika
lampu merah masih menyala, kita tidak menerobos karena kita belum berhak untuk
berjalan. Di hadapan kasir, kita antre, karena kita sadar akan batas urutan
kita. Karena konsumen yang datang lebih dulu lebih berhak untuk dilayani. Suami
makin mencintai anak dan istrinya, karena itu adalah hak istri dan anak.
Sadar
bahwa itu bukan sandalnya, ya tidak dipakai. Sadar bahwa itu adalah halaman
tetangga, ya tidak parkir di situ. Sadar bahwa itu bukan tempat sampah, ya
tidak membuang sampah sembarangan. Sadar bahwa waktu sudah malam, ya tidak
membunyikan televisi atau kendaraan kencang-kencang. Sadar bahwa pendidikan
anak adalah tanggung jawab orangtua, maka kita didik anak dengan
sebaik-baiknya.
Jamaah
salat ied hafidzakumullah,
Dari
sini kita jadi mengerti bahwa sesungguhnya Ramadhan adalah sasana pelatihan
yang disediakan Allah lengkap dengan segala fasilitas penunjangnya. Allah
memberikan bonus pahala berlipat ganda. Allah menjamin pahala puasa. Allah pun
membelenggu setan agar tak mengganggu. Betapa fasilitas yang sangat mewah.
Namun
perlu diingat. Karena Ramadhan adalah ruang pelatihan, maka pertarungan
sesungguhnya dimulai pada hari ini. Hari-hari inilah pertarungan itu dimulai.
Pahala tak lagi berpipat ganda. Jaminan pahala puasa Ramadhan tak lagi berlaku.
Belenggu setan tak lagi berlangsung.
Masihkah
kita salat jamaah lima waktu? Masihkah kita berpuasa sunnah? Masihkah kita
bertadarus? Masihkan kita menginsafi batas-batas? Masihkah kita menginsafi momentum
jeda? Apakah kita makin peka terhadap penderitaan sesama atau justru
kembali terlupa?
Jika
kita mampu menjaga ritme kehidupan dan bahkan menjadi lebih baik. Kita makin
insaf fitrah kemanusiaan kita terkait batas dan momentum jeda,
maka itulah kita meraih fitrah. Kita kembali kepada fitrah.
Jamaah
salat ied yang berbahagia,
Ada sebuah kisah menarik. Sepulang
dari salat ied, Sayyidina Ali bin Abu Thalib kw. makan beberapa butir kurma. Ada seorang sahabat
yang kebetulan lewat kemudian berkomentar.
“Sayyidina
Ali. Ini kan hari lebaran. Kok cuma makan kurma? Mumpung lebaran, makanlah yang enak sedikit.
Roti atau apalah.”
Sayyidina Ali menjawab, “Bagi
saya, hari di mana saya tidak bermaksiat kepada Allah, adalah hari raya.” Ia
kemudian menambahkan ungkapan yang sangat terkenal,
ليس العيد لمن لبس الجديد إنما العيد
لمن طاعاته تزيد .
Hari raya bukanlah
mengenakan pakaian baru, tapi hari raya adalah hari dimana ketaatan kita
bertambah.
ليس العيد لمن لبس الجديد، إنما العيد لمن إيمانه يزيد
Hari raya bukanlah soal
mengenakan pakaian baru, tapi hari raya adalah hari dimana iman kita bertambah.
Sayyidina
Ali kw. menambahkan
ليس العيد لمن لبس الجديد إنما العيد لمن أمن الوعيد
Hari raya bukanlah soal
mengenakan pakaian baru, tapi hari raya adalah hari dimana kita selamat dari
ancaman.
Ancaman apa? Ancaman terhadap orang yang merugi dan celaka. Nabi Muhammad brsabda,.
من كان يومه خيرا من امسه فهو رابح. ومن
كان يومه مثل امسه فهو مغبون. ومن كان يومه شرا من امسه فهو ملعون.
Dalam
konteks Idul Fitri, hadits riwayat Hakim ini bisa dimaknai begini: Barang siapa
yang setelah lebaran makin baik akan kesadaran fitrahnya, maka ia termasuk
orang yang beruntung.
Barang
siapa yang setelah lebaran makin menurun kesadaran fitrahnya, masih suka
menabrak batas. Masih suka menyebar berita yang berpotensi menimbulkan
kegaduhan dan fitnah tanpa tabayun, masih suka menabrak rambu lalu lintas, maka
ia termasuk orang yang merugi.
Barang
siapa yang setelah lebaran kesadarannya fitrahnya makin parah. Makin suka
menyerobot antrean, makin sering buang sampah sembarangan, makin sering
mencontek, makin tidak menghargai hak-hak tetangga, makin sering menghalangi
hak-hak pekerja, maka kata Rasul, ia termasuk orang yang celaka.
Dari
sini kita juga makin insaf, bahwa indikasi Ramadhan kita berhasil bisa dilihat
dari masjid dan lingkungan kita. Apakah lingkungan makin ramah anak atau tidak?
Apakah lingkungan makin aman atau sebaliknya? Apakah kebersihan makin terjaga
atau sebaliknya? Apakah masjid makin ramai atau sebaliknya? Apakah anak-anak
makin mendapat perhatian dari orangtuanya atau tidak?
Allah
swt berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا
اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kamu sekalian kepada Allah, dan sertailah orang-orang yang
jujur.
Jamaah
salat Ied yang hafidzakumullah.
Inilah
makna dan urgensitas Ramadhan. Di mana di mana kita dilatih selama sebulan penuh untuk bertarung selama sebelas bulan kemudian. Selama sebulan kita dikenalkan dan diinsafkan kembali
kepada dua fitrah kita sebagai manusia.
Kedua fitrah tersebut adalah pertama, fitrah akan momentum jeda dalam pengambilan sikap dan bertindak. Di mana manusia mampu berpikir sebelum mengambil tindakan.
Fitrah kedua adalah fitrah akan batas dalam mengonsumsi dan bersikap.
Kedua fitrah ini setelah dikenali kemudian harus dikendalikan dan diarahkan secara bijak untuk ditujukan pada hal-hal yang positif.
Demikian
khutbah yang dapat saya sampaikan, mohon maaf atas segala kesalahan.
Selamat
hari raya idul fitri, mohon maaf lahir dan batin.
تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ
اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ
عِيْدِنَا، وَأَعِدْهُ عَلَيْنَا أَعْوَامًا عَدِيْدَةً
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ
الرَّجِيْمِ: أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ أنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ
الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ، قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ
يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ، إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو
الْأَلْبَابِ.
الزمر: 9
جَعَلَنَا اللهُ
وَاِيَّاكُمْ مِنَ اْلعَائِدِيْنَ وَاْلفَائِزِيْنَ وَاْلمَقْبُوْلِيْنَ،
وَاَدْخَلَنَا وَاِيَّاكُمْ فِى زُمْرَةِ عِبَادِهِ الصَّالِحِيْنَ. وَاَقُوْلُ
قَوْلِى هَذَا، وَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ لِي وَلَكُمْ وَلِوَالِدَيَّ
وَلِسَائِرِ اْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ، فَاسْتَغْفِروهُ اِنَّهُ
هُوَاْلغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
=== الخُطْبَةُ الثَّانيةُ ===
اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ
اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ
اللهُ أكبرُ، وللهِ الحَمْدُ
الْحَمْدُ لِلَّهِ الرَّحِيمِ الرَّحْمَنِ، أَمَرَ بِالتَّرَاحُمِ
وَجَعَلَهُ مِنْ دَلاَئِلِ الإِيمَانِ، أَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ عَلَى نِعَمِهِ
الْمُتَوَالِيَةِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ
لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُ اللَّهِ
وَرَسُولُهُ، الرَّحْمَةُ الْمُهْدَاةُ، وَالنِّعْمَةُ الْمُسْدَاةُ، وَهَادِي
الإِنْسَانِيَّةِ إِلَى الطَّرِيقِ الْقَوِيمِ، فَاللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ
وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا وَنبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وصَحْبِهِ
أَجْمَعِينَ، وَعَلَى مَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ
أَمَّا بَعْدُ: فَأُوصِيكُمْ عِبَادَ اللَّهِ وَنَفْسِي
بِتَقْوَى اللَّهِ. إنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ
بِنَفْسِهِ وَثَنَّى فِيْهِ بِمَلَائِكَتِهِ، فقَالَ تَعَالَى: إِنَّ اللَّهَ
وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا. وقالَ رسولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا
عَشْراً. اللَّهُمَّ صلِّ وسلِّمْ وبارِكْ علَى سَيِّدِنَا
وَنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ، وَارْضَ
اللَّهُمَّ عَنِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ
وَعَلِيٍّ، وعَنْ سَائِرِ الصَّحَابَةِ الْأَكْرَمِيْنَ، وَعَنِ التَّابِعِيْنَ
وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ
وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ الْاَحْيآءِ مِنْهُمْ
وَاْلاَمْوَاتِ
اللَّهمّ إلَيْكَ نَشْكُو ضَعْفَ قُوَّتِنا، وَقِلَّةَ
حِيْلَتِنَا، وَهَوَانَنَا عَلَى النَّاسِ، يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ، أَنْتَ
رَبُّ الْمُسْتَضْعَفِينَ، وَأَنْتَ رَبُّنَا، إلَى مَنْ تَكِلُنا، إلَى بَعِيدٍ
يَتَجَهَّمُنَا، أَمْ إلَى عَدُوٍّ مَلَّكْتَهُ أَمْرَنَا، إِنْ لَمْ يَكُنْ بِكَ
عَلَيْنَا غَضَبٌ فَلَا نُبَالِي، وَلَكِنَّ عَافِيَتَكَ هِيَ أَوْسَعُ لَنَا،
نَعُوْذُ بِنُورِ وَجْهِكَ الَّذِي أَشْرَقَتْ لَهُ الظُّلُمَاتُ ، وَصَلُحَ
عَلَيْهِ أَمْرُ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ مِنْ أَنْ تُنْزِلَ بِنا غَضَبَكَ، أَوْ
يَحِلَّ عَلَيْنَا سُخْطُكَ، لَكَ الْعُتْبَى حَتَّى تَرْضَى، وَلَا حَوْلَ وَلَا
قُوَّةَ إلَّا بِكَ
اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ
وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ، وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ، مَا ظَهَرَ
مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ
اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ
فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا
لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ
عِبَادَاللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ
وَاْلاِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِى اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ
وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ، وَاذْكُرُوا
اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ،
وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ.
Khutbah ini disampaikan di Masjid Baitun Naim Saman, Bangunharjo, Sewon, Bantul DI Yogyakarta. 1 Syawal 1437 H/6 Juli 2016.
Comments