Hukum puasa Ramadhan adalah fardhu ain bagi mereka yang
sudah menetapi syarat wajib puasa. Sepanjang sudah ditunaikan dengan
memenuhi syarat sah dan rukunnya, maka puasa yang kita lakukan dihukumi sah.
Dalam konteks ini, kewajiban puasa kita menjadi gugur. Tentu saja, kita tidak berkewajiban
untuk qadha puasa.
Namun demikian, ada kalanya puasa yang kita lakukan ternyata tidak sah atau batal. Ada kalanya juga, secara sengaja atau tidak, kita tidak
berpuasa karena ada uzur tertentu. Terhadap puasa yang ditinggalkan, ada
beberapa konsekuensi yang timbul.
Terhadap puasa yang terlewat ini ada dua mekanisme umum yang
bisa ditempuh, yakni qadha dan membayar fidyah. Qadha adalah mengganti puasa Ramadhan
yang ditinggalkan pada hari-hari lain di luar Ramadhan sesuai dengan jumlah
hari di mana ia meninggalkan puasa.
Sementara fidyah adalah membayarkan bahan makanan pokok. Untuk
sehari tak berpuasa, bahan makanan pokok yang dibayarkan adalah 1 mud atau
sekira 700 gram, berlaku kelipatan. Fidyah ini diberikan kepada fakir dan
miskin terdekat dari domisili dia.
Fidyah bisa dibayarkan secara harian atau secara langsung. Semisal ada orang yang tak berpuasa selama lima hari, ia bisa membayar fidyah per hari atau lima hari sekaligus. Bisa juga ia memberikan kepada lima orang fakir miskin (ini yang utama) atau kepada satu orang fakir miskin.
Para ulama kemudian merinci dua ketentuan umum tadi sehingga
muncul empat ketentuan khusus terkait orang yang meninggalkan puasa. Keempatnya
adalah: (i) tidak wajib qadha dan tidak pula fidyah; (ii) wajib qadha, tidak
wajib fidyah; (iii) tidak wajib qadha, tapi wajib fidyah; dan (iv) wajib qadha
dan fidyah sekaligus.
Tidak wajib qadha dan tidak pula fidyah
Ketentuan pertama ini berlaku bagi siapa saja yang baru saja
masuk Islam atau mualaf. Bagi orang ini seluruh hukum Islam baru saja berlaku,
mulai dari nol. Ia dianggap seperti bayi yang baru lahir sehingga tidak memiliki
tanggungan apa pun dalam hal ubudiyah. Ia dianggap tidak memiliki dosa atau kewajiban
yang harus dilunasi ketika ia masuk Islam.
Selain mualaf, ketentuan ini juga berlaku bagi orang gila.
Orang gila dianggap tidak bisa memenuhi klasifikasi mukallaf sehingga baginya
tidak berlaku hukum syariah. Nabi bersabda, malaikat mengangkat pena (rufi’a al-qalam) dari mencatat amal
perbuatannya.
Wajib qadha, tidak fidyah
Ketentuan kedua ini berlaku bagi siapa saja yang secara
sadar karena ada uzur atas dirinya sendiri atau tanpa uzur sehingga ia tidak
berpuasa. Uzur ini bisa bersifat syar’iy atau bukan syar’iy. Uzur
syar’iy adalah uzur atau kerepotan yang secara syariat diperkenankan
menjadi alasan untuk munculnya hukum yang menyimpang dari ketentuan umum, dalam
hal ini boleh tidak berpuasa.
Contoh uzur syar’iy seorang perempuan yang datang
bulan, nifas, atau melahirkan, maka ia tidak memenuhi syarat sah untuk
berpuasa, sehingga puasanya tidak sah dan ia pun tidak berkewajiban untuk
berpuasa. Sama halnya dengan ibu hamil yang khawatir akan kesehatan dirinya
lalu berbuka. Mereka diwajibkan menganti puasa pada hari yang berbeda.
Kerepotan lain yang termasuk uzur syar’iy adalah
orang yang sedang dalam perjalanan (musafir) memenuhi syarat tertentu lalu tidakberpuasa. Maka ia berkewajiban untuk mengqodho puasa yang ditinggalkan.
Adapun uzur yang tidak syar’iy misalnya sengaja
membatalkan puasa. Dalam hal ini, mereka berkewajiban untuk mengqadha puasa
pada hari yang lain. Mereka yang masuk dalam klasifikasi kedua ini tak
diwajibkan untuk membayarkan fidyah. Mereka juga tidak bisa mengganti puasanya
dengan fidyah.
Tidak wajib qadha, wajib fidyah
Ketentuan ketiga ini berlaku bagi mereka yang secara fisik
tidak mungkin untuk berpuasa karena sangat lemah. Misalnya seorang kakek yang
sangat sepuh yang tak mampu berpuasa. Ia cukup membayarkan fidyah, karena
kemungkinan untuk menjadi kuat berpuasa di masa depan nyaris tidak ada.
Hal yang sama juga berlaku bagi orang yang mengalami sakit
yang cukup parah dan menurut pandangan medis, kemungkinan sembuhnya sangat
kecil. Kita jadi mengerti ia tidak punya kesempatan untuk mengqadha puasa.
Sebab itu mereka tidak diwajibkan qadha, sesuatu yang nyaris mustahil mereka
lakukan.
Sebagai gantinya, mereka diwajibkan untuk membayar fidyah.
Wajib qadha, wajib fidyah
Yang terakhir ini agak berat karena baik qadha ataupun
fidyah harus dilakukan. Ketentuan keempat ini berlaku bagi dua orang.
Pertama, orang yang tidak berpuasa lantaran khawatir dengan
kesehatan orang lain. Misalnya seorang ibu menyusui yang khawatir akan
kesehatan bayinya atau ibu hamil yang khawatir akan kesehatan janinnya. Demikian
halnya orang membatalkan puasa karena membantu orang lain, seperti
menyelamatkan orang yang tenggelam.
Kedua, orang yang meninggalkan puasa Ramadhan tetapi tidak
segera mengqadhanya hingga Ramadhan tahun berikutnya datang. Bagi orang ini,
kewajiban qadha tahun lalu tidak gugur, sehingga harus tetap diqadha. Baginya ada
penalti berupa membayar fidyah.
Jadi, bagi siapa pun yang memiliki hutang puasa lebih baik
segera menyusun rencana kapan puasa akan dicicil. Jangan sampai kesempatan 11
bulan di depan ini terbuang sia-sia.
Demikian semoga bermanfaat.
Wallahu a’lam.
Materi ini disampaikan pada program Kodama Berbagi di Radio Istakalisa 96.2 FM tanggal 29 Juni 2016 pukul 16.00-17.00 WIB.
http://tunein.com/radio/Istakalisa-FM-962-s189377/
Comments