Pengetahuan terkait tentang penemuan dan apa yang seseorang ketahui tentang sesuatu hal. Pengetahuan ini dalam berbagai kondisi memiliki urutan hierarki yang masing-masing memiliki peruntukan dan tujuan yang berbeda. Dalam fikih Islam, hierarki ini terkait dengan poin-poin kunci dalam ibadah, muamalah, jinayat, hingga akidah.
Pengetahuan sendiri bisa dihasilkan dengan berbagai cara. Salah satu cara yang paling populer dengan belajar melalui media pembelajaran, penalaran, atau pemahaman. Kita juga bisa mendapatkan pengetahuan dengan melihat atau mendengar langsung objek yang bersangkutan. Bisa juga dengan mengalami sendiri apa yang kita ketahui.
Secara berurutan dari yang paling atas atau kuat menuju yang paling bawah atau lemah adalah sebagai berikut: persaksian (asy-syahadah), pengetahuan dengan melihat atau mendengar (‘ilm bi ru’yah aw sam’ah), pengetahuan konon katanya (‘ilm min qîl wa qâl), praduga (adz-dzann), keraguan (as-syakk), waham (al-wahm), bodoh biasa (al-jahl al-basith), dan bodoh kuadrat (al-jahl al-murakkab).
Persaksian (Syahadah)
Syahadah adalah pengetahuan yang paling kuat dan sempurna. Dalam konteks ini, seseorang mengalami sendiri suatu peristiwa. Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri dengan jelas. Ia juga mendengar dengan telinganya sendiri secara jelas tanpa penghalang. Lalu ini yang paling penting, ia memahami dengan benar-benar konteks peristiwa atau objek tersebut. Persaksian adalah pengetahuan yang bersifat empiris dan diperoleh langsung dari objeknya.
Pengetahuan yang sempurna ini bisa dijadikan acuan dan rujukan serta pertimbangan penting dalam penentuan berbagai peristiwa hukum. Misalnya peristiwa perkawinan, transaksi muamalat, tindak pidana, perzinahan, dan semacamnya. Perkawinan adalah peristiwa penting terkait kelangsungan hidup manusia. Maka hanya orang yang tahu betul kedua calon mempelai yang bisa menjadi saksi.
Tindak pidana tentu menuntut hakim untuk mempertimbangkan dan akhirnya memutuskan apakah pidana akan dijatuhkan atau tidak. Lantaran pidana akan sangat menyakitkan dan merugikan secara psikis, fisik, waktu, tenaga, energi, bahkan nyawa terdakwa, maka pidana hanya akan dijatuhkan kepada orang yang benar-benar terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa dialah pelakunya.
Persoalannya adalah, hakim tidak hadir atau menyaksikan peristiwa tersebut secara langsung. Maka kehadiran saksi di sini menjadi kunci. Dialah orang yang tahu bagaimana tindak pidana tersebut terjadi. Dia tahu siapa korbannya dan siapa pelakunya. Mengingat betapa penting persaksian ini, maka seorang saksi harus memberikan keterangan di muka pengadilan secara langsung, tidak boleh diwakilkan kepada siapa pun.
Mengingat betapa krusialnya informasi dari saksi tersebut, maka sebelum ia memberikan persaksian, saksi harus diambil sumpah terlebih dahulu. Jangan sampai ia memberikan informasi yang salah atau keliru. Jika ia sengaja memberikan keterangan palsu, maka ia bisa dipidana juga. Dan mengingat persaksiannya bisa merugikan terdakwa bahkan bisa membuat nyawa terdakwa melayang, maka saksi harus dilindungi.
Dalam delik perzinahan yang ancamannya adalah pidana rajam, misalnya, saksi harus melihat dengan mata kepalanya sendiri secara jelas dan meyakinkan bahwa terdakwa melakukan persetubuhan dengan memasukkan kelamin lelaki ke kelamin perempuan. Dan tidak hanya itu. Jumlah saksi yang dibutuhkan haruslah empat orang saksi.
Saksi ini pun harus orang yang dewasa, berakal sehat, sehat penginderaannya, serta bebas dari afiliasi atau tumpang tindih kepentingan terhadap terdakwa yang bisa membuat persaksiannya menjadi bergeser dari apa yang sebetulnya terjadi.
Dalam konteks perkawinan atau muamalah lain juga demikian halnya. Saksi harus paham betul apa yang sesungguhnya yang telah, sedang, dan akan terjadi. Ia harus paham betul siapa pihak-pihak yang terlibat dalam perkara tersebut, juga peran dan posisi masing-masing, serta hak dan tanggung jawab masing-masing pihak.
Kalau diberi skala, syahadah menempati posisi 100 dari 100 skala.
Dalam konteks tauhid, kunci masuk Islam adalah syahadah. Bersaksi, mengalami sendiri, mendengar sendiri, melihat dengan mata kepala sendiri bahwa tiada Tuhan selain Allah, bahwa Kanjeng Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Jadi tidak sekadar melafalkan syahadat, tetapi melakoni syahadat.
Jika begini, sudahkah kita bersyahadat? :)
Hasil Penglihatan atau Pendengaran
Sebelumnya, persaksian melibatkan seluruh diri beserta keseluruh indera secara utuh-seluruh untuk mencerap informasi secara utuh-seluruh. Lalu bagaimana jika pengetahuan yang didapat bersumber dari hanya satu atau dua panca indera saja? Tentu kualitasnya akan berada di bawah persaksian. Karena bisa saja informasi yang didapatkan tidak utuh, bias, timpang, atau lepas dari konteks yang melingkupinya. Hal-hal semacam ini sangat mungkin terjadi.
Contohnya jika informasi terkait peristiwa perzinahan, misalnya, Si A hanya mendengarkan suara orang berzina di ruang sebelah tetapi ia tidak bisa melihat tindakan tersebut lantaran ruang sebelah lampu padam nan gelap gulita. Dalam kondisi semacam ini, boleh jadi pendengaran Si A mendekati kebenaran. Tetapi ia tidak bisa memastikan siapa para pelaku perzinahan, meskipun ia yakin bahwa telah terjadi tindak pidana perzinahan dan meskipun ia bisa menduga siapa pelakunya jika ia mengenal suaranya.
Dalam konteks fikih, informasi semacam ini tidak bisa dijadikan alat bukti di meja hijau lantaran masih mengandung kemungkinan adanya kesalahan atau kekeliruan. Bisa jadi yang ia dengarkan hanyalah rekaman suara orang yang entah siapa melalui media mp3 player, misalnya. Bisa jadi pula itu adalah adegan di sebuah film yang diputar di komputer namun monitornya mati. Sebab itu, informasi audial semacam ini tidak bisa dijadikan saksi kunci, melainkan harus disokong dengan informan atau alat bukti visual yang terkait.
Meskipun demikian, informasi semacam ini bernilai cukup tinggi. Kalau diberi nilai, maka ia mendapatkan nilai 90-99 dari skala 100.
Hasil Penglihatan atau Pendengaran
Sebelumnya, persaksian melibatkan seluruh diri beserta keseluruh indera secara utuh-seluruh untuk mencerap informasi secara utuh-seluruh. Lalu bagaimana jika pengetahuan yang didapat bersumber dari hanya satu atau dua panca indera saja? Tentu kualitasnya akan berada di bawah persaksian. Karena bisa saja informasi yang didapatkan tidak utuh, bias, timpang, atau lepas dari konteks yang melingkupinya. Hal-hal semacam ini sangat mungkin terjadi.
Contohnya jika informasi terkait peristiwa perzinahan, misalnya, Si A hanya mendengarkan suara orang berzina di ruang sebelah tetapi ia tidak bisa melihat tindakan tersebut lantaran ruang sebelah lampu padam nan gelap gulita. Dalam kondisi semacam ini, boleh jadi pendengaran Si A mendekati kebenaran. Tetapi ia tidak bisa memastikan siapa para pelaku perzinahan, meskipun ia yakin bahwa telah terjadi tindak pidana perzinahan dan meskipun ia bisa menduga siapa pelakunya jika ia mengenal suaranya.
Dalam konteks fikih, informasi semacam ini tidak bisa dijadikan alat bukti di meja hijau lantaran masih mengandung kemungkinan adanya kesalahan atau kekeliruan. Bisa jadi yang ia dengarkan hanyalah rekaman suara orang yang entah siapa melalui media mp3 player, misalnya. Bisa jadi pula itu adalah adegan di sebuah film yang diputar di komputer namun monitornya mati. Sebab itu, informasi audial semacam ini tidak bisa dijadikan saksi kunci, melainkan harus disokong dengan informan atau alat bukti visual yang terkait.
Meskipun demikian, informasi semacam ini bernilai cukup tinggi. Kalau diberi nilai, maka ia mendapatkan nilai 90-99 dari skala 100.
Jika banyak informasi yang sepenggal-penggal ini dikumpul maka akan membentuk mozaik informasi yang utuh. Apalagi mayoritas informasi yang beredar di kalangan masyarakat biasanya lebih banyak yang semacam ini ketimbang informasi pada level pertama di atas. Sementara masyarakat diharuskan mengambil sikap terhadap satu peristiwa, maka yang harus dilakukan adalah menemukan titik sambung di antara berbagai kepingan informasi tersebut seraya ketat melakukan verifikasi terhadap masing-masing keping informasi.
Hanya saja, kerendahhatian sangat dibutuhkan di sini untuk menerima kenyataan yang barangkali nantinya tidak sesuai dengan persepsi yang kita bangun berdasar informasi milik kita. Karena boleh jadi, terhadap satu peristiwa yang sama akan muncul berbagai informasi yang berbeda lantaran perbedaan perspektif dan sudut pandang yang digunakan oleh berbagai informan. Sebab itu, modus kritis sangat perlu dihidupkan dalam konteks ini.
Hanya saja, kerendahhatian sangat dibutuhkan di sini untuk menerima kenyataan yang barangkali nantinya tidak sesuai dengan persepsi yang kita bangun berdasar informasi milik kita. Karena boleh jadi, terhadap satu peristiwa yang sama akan muncul berbagai informasi yang berbeda lantaran perbedaan perspektif dan sudut pandang yang digunakan oleh berbagai informan. Sebab itu, modus kritis sangat perlu dihidupkan dalam konteks ini.
Bersambung... []
Tulisan ini adalah hasil pengembangan dari inspirasi yang muncul di sela-sela diskusi seru di kelas Fathul Qarib PP Ali Maksum kompleks GP Krapyak Yogyakarta, awal Maret 2016. Tulisan ini akan diturunkan ke dalam beberapa bagian.
Tulisan ini adalah hasil pengembangan dari inspirasi yang muncul di sela-sela diskusi seru di kelas Fathul Qarib PP Ali Maksum kompleks GP Krapyak Yogyakarta, awal Maret 2016. Tulisan ini akan diturunkan ke dalam beberapa bagian.
Comments