Pada mulanya begini. Lebaran Idul Fitri ataupun Idul Adha adalah ibadah yang terikat dengan sebab. Untuk Idul Fitri, sebabnya adalah masuknya tanggal 1 Syawal. Sedangkan untuk Idul Adha sebabnya adalah masuknya tanggal 10 Zulhijjah.
Dari sini kita jadi tahu bahwa pokoknya ada pada sebab yakni peredaran bulan. Nah, peredaran bulan ini unik, karena ia terikat dengan perbedaan titik geografis (beda garis lintang dan bujur) pengamat di muka bumi.
Pasti sering dengar kan informasi begini. Di Aceh ketinggian hilal sudah 2', tetapi di Poso masih 1', sedangkan di Jayapura malah masih -1". Sedangkan di Kairo sudah 3'.
Di Aceh sudah bisa lihat hilal, tapi di Kalimantan belum. Di Baghdad sudah bisa lihat hilal, tapi di New Delhi belum. Perkara ini selalu terjadi setiap awal bulan dalam kalender Hijriah.
Lalu bagaimana cara mengambil kesimpulan hukum dari peristiwa ini?
Para ulama klasik membuat batasan geografis keberlakuan eksistensi/visibilitas hilal. Konsepnya disebut mathla. Batasan mathla sendiri ada beberapa versi. Ada yang menyatakan sejauh info menyebar dalam semalam. Ada juga yang menghitung area seluas masafah qasar atau sekira 80 km x 80 km.
Jadi jika satu orang melihat hilal 1 Syawal, maka esok lebaran Idul Fitri bagi daerah seluas satu mathla tersebut.
Itu dalam konsep fikih klasik.
Dalam era kontemporer, mathla ini mengalami perkembangan dengan hadirnya konsep negara-bangsa. Sebab itulah muncul istilah wilayah al hukm atau yurisdiksi yang cakupannya adalah sebuah negara.
Dalam konsep yang baru ini, mathla mengalami perluasan seluas yurisdiksi sebuah negara.
Maka, jika Aceh melihat hilal 1 Syawal, seluruh wilayah RI esok bisa lebaran Idul Fitri, tetapi tidak wilayah Singapura dan Brunei. Meskipun Brunei ataupun Singapura dekat secara geografis dengan NKRI.
Dalam konsep wilayah al hukm ini, negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim punya kewajiban moral untuk menetapkan awal bulan Qamariyah yang menjadi sebab dan acuan pelaksanaan ibadah.
Masing-masing menetapkannya sendiri.
Lha kita ikut negara mana?...
Ya sederhana saja. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.
Kalau pas tinggal di Jogja, ya ikut penetapan pemerintah RI.
Kalau pas di Serawak, ya ikut penetapan pemerintah Malaysia.
Kalau pas di Kairo, ya ikut penetapan Pemerintah Mesir.
Kalau pas di Baghdad, ya ikut penetapan Pemerintah Irak.
Kalau pas di Makkah, ya ikut penetapan Pemerintah Saudi.
Karena penetapan awal bulan Qamariyah terikat pada dan menjadi kewenangan wilayat al hukm masing-masing.
Begitu. Allahu a'lam.
Muhamad Nasrudin
Comments