Berbekal arahan dari Mbah-mbah di depan masjid tadi, saya menemukan rumah Mbah Muhyidin. Saya ingat-ingat, rumahnya tidak banyak berubah dari 15 tahun lalu.
Sebuah rumah joglo sepuh tapi masih kokoh soko-sokonya.
Sampai di sini rumahnya tertutup.
Saya tanya anak laki-laki di rumah sebelah.
Belakangan saya tahu anak lelaki ini bernama Pangi, cucu Mbah Muhyidin dari putranya, Lek Kus.
Ternyata Mbah Muhyidin tidak di rumah.
* * *
Di rumah ada seorang anak perempuan. Saya tanya. "Mbah Muhyidin ada?"
"Mbah lagi di sawah, Pak.", jawab anak perempuan itu.
Ya sudah, kita kemudian ke sawah. Sekalian saya juga penasaran dengan kondisi sawah di Mangunranan.
Belakangan saya tahu, anak perempuan ini bernama Wulan, cucu dari Mbah Muhyidin. Kedua orangtuanya tinggal di Kalimantan.
* * *
Di sawah sebelah kiri jalan tanaman jagung sudah tinggi dan menunggu waktu untuk segera panen.
Wulan mencari Mbah Kakung, tapi tidak ketemu.
Wulan kemudian berlari ke sawah sebelah kanan jalan. Di sana ada mbah-mbah sedang menyiangi rumput.
Saya tanya ke Wulan. "Itu Mbah Putri?"
"Ya, Pak..."
Mbah Putri tampak masih bersemangat menyiangi rumput.
Musim kali ini Mbah menanam cabai. Tanamannya masih sejengkal.
Melihat kedatangan saya, Mbah Putri agak kaget.
Saya memperkenalkan diri, saya Nasrudin, cucunya Mbah Zamzuri/Ngaliyah.
Mbah Putri mengajak pulang ke rumah.
Di rumah saya ngobrol banyak dengan Mbah Putri tentang masa lalu.
* * *
Satu jam kemudian, seorang kakek pulang dari sawah menaiki sepeda mini dengan cangkul diikat di boncengan.
Ia kemudian berbelok ke rumah. Batin saya, Rupanya beliau tahu saya datang.
"Wes ket mau?" (Sudah dari tadi?)
"Njih sak untawes, Mbah." (Lumayan, Mbah)
Mbah Muhyidin ini rupanya masih segar bugar dan aktif nyawah,
Belakangan saya tahu, usia beliau kurang lebih 80 tahunan.
"Pas Pak Sukarno proklamasi ya aku wes ngonangi."
"Wong biyen pas jaman perang, wong-wong wadon podo nganggo angus raine."
"Lha kersane nopo, Mbah?"
"Yo Londo ki nek ono wadon ayu terus digowo. Dadi ngaggo angus men ora digowo". [n]
Comments