Nisan Mbah Amat Sardini kakung (kiri) dan Mbah Putri (kanan ada dua batu bata) |
Sore itu (10/03/24) saya meminta Mbah Muhyidin, adik ragil Mbah Ngaliyah untuk mengantarkan saya ke makam Mbah Sardini, ayah dari Mbah Ngaliyah.
Oya, Mbah Ngaliyah ini adalah ibu kandung dari Bapak Solihin, ayah saya.
Makam desa yang tak jauh dari kampung. Kami ke sana naik motor di atas jalan cor halus.
Rupanya makam ramai dengan warga yang berziarah atau nyadran.
Maklum, hari Ahad ini adalah H-2 jelang Ramadhan.
Mbah Muhyidin segera menunjukkan nisan Mbah Sardini.
Bertemu nisan leluhur rasanya memang luar biasa.
Ada perasaan haru, senang, dan entah perasaan apa yang tiba-tiba membuncah dalam benak ini.
***
Saya terus mengambil tempat untuk duduk berdiam di depan nisan Mbah Sardini, kakek buyut saya.
Di sebelah selatan selisih satu nisan, dimakamkan juga nenek buyut saya.
Saya menyampaikan salam dan memperkenalkan diri sebentar.
Mbah Muhyidin meminta saya untuk membaca Tahlil. Saya menolak, tapi Mbah Muhyidin memaksa, dia bilang, saya kan belum pernah ketemu Mbah Saridin.
Baiklah, karena sudah sore, jadi saya langsung bacakan Tahlil dan ditutup doa.
Selesai doa, Mbah Muhyidin mengajak saya berziarah ke pusara Mbah Bajuri yang tak jauh dari pusara Mbah Saridin. Hanya 10 meter ke arah timur.
Oya, Mbah Bajuri ini adalah mertua Mbah Muhyidin. Saya bacakan tahlil dan doa. Mbah Muhyidin mengikuti dan mengamini.
Saya kemudian meminta agar ditunjukkan pusara Mbah Madirsan, ayah dari Mbah Zamzuri, ayah dari Bapak saya.
Sayangnya Mbah Muhyidin tidak tahu.
"Harusnya tadi mampir ke tempat Syapingi. Dia yang paham lokasinya."
Saya kemudian minta diantarkan ke Syapingi.
Belakangan saya tahu, rupanya saya harus memanggilnya Lek Syapingi. Beliau adalah putera dari Mbah Izzudin, adik kandung Mbah Zamzuri. [n]
Comments