Skip to main content

Posts

Showing posts with the label tanda

Dakwah dan Budaya Pop

Membincang dunia dakwah kontemporer tak akan pernah sempurna tanpa kita membincang kelindan ideologi dan pergulatan identitas dalam kebudayaan mutakhir di Indonesia. Dalam lanskap modernitas dan bahkan post-modernisme, kebudayaan Indonesia beberapa dekade belakangan ini tak bisa dilepaskan dari budaya populer. Dalam pandangan seperti ini, membincang dakwah tak akan lengkap tanpa membincang kaitannya dengan budaya populer. Budaya populer yang dibahas dalam tulisan ini hanya akan dikerucutkan dalam pemaknaan bahwa budaya tersebut diproduksi secara massal oleh industri untuk dikonsumsi secara massal juga oleh masyarakat. Dalam konsumsi ini, dibutuhkan media yang digunakan untuk menyajikan produk budaya kepada konsumen. Sehingga, pembahasaan kali ini tentu akan fokus pada objek media massa dalam sikapnya terkait agenda dakwah Islam, dan juga program acara mereka. Logika Media Televisi nyaris tak bisa dilepaskan dari masyarakat kita. Kotak bercahaya itu seakan jauh lebih akrab dengan kit

Hak Menghadirkan Kematian (4-habis)

Kembalikan Mandat Asghar Ali Engineer menekankan pentingnya pembacaan menyeluruh atas teks-teks ( nushus ) yang berbicara mengenai qishash . Baginya, ayat ini terbebani berbagai problem. Utamanya berkait situasi kondisi Jahiliyah Arab yang amat rumit, lekat dengan tribalisme dan balas dendam. [1] Pada masa itu—dan hingga kini—, demi harga diri, puluhan nyawa dipertaruhkan. Harga diri hanyalah satu di antara banyak alasan yang mendasari pembunuhan, di samping berbagai problem lain: ketidakstabilan emosi, kurangnya kontrol diri, dendam pribadi, dst yang kerap menjadi motif pembunuhan. Kausa di atas sedemikian ragam. Sehingga, asumsi menurunnya pembunuhan tatkala hukuman mati diterapkan tidak menemukan pembenaran di sini. Adalah benar, semua pembunuh takut hukuman mati. Tapi, tampaknya hukuman mati ini justru menjadikan mereka lebih kreatif dalam menjalankan pembunuhan serapi mungkin hingga tak bisa terlacak dan bebas dari jeratan hukum.

Hak Menghadirkan Kematian (1)

Hak Menghadirkan Kematian [1] Kritik Pidana Mati dalam Filsafat Hukum Islam Dalam semalam, Kejaksaan mengeksekusi tiga terpidana mati: Sumiasih, Sugeng (Surabaya), dan Tubagus Yusuf Maulana alias Usep (Banten) pada 20 Juli 2008 lalu. Nyawa mereka melayang di ujung senapan para algojo dari Brimob. Selanjutnya, Amrozi cs, para pelaku bom Bali  menyusul. Kematian sejatinya tidak akan pernah terlepas dari fenomena kehidupan. Keduanya jalin-menjalin dalam sebuah harmoni yang teramat indah. Tapi, jemalin harmoni ini akan menjelma problem manakala tidak dipahami dan “diselesaikan” dengan baik, terutama berkait persoalan kehadiran kematian. Senyatanya, kehadiran kematian sama misterinya dengan kehadiran kehidupan. Keduanya sama-sama menimbulkan implikasi unik. Kehidupan berimplikasi pada hadirnya hak dan kewajiban atas diri yang hidup dan lingkungan [2] yang dihadirinya. Pun, hak dan kewajiban yang-hadir secara vertikal kepada Yang Maha Hidup. Sementara, kehadiran k

Mentransmisi Agama Lewat Dongeng

"Didiklah anakmu dengan bijaksana. Karena mereka terlahir bukan di jaman kalian." Ini pesan Imam Ali KW kepada para sahabatnya. Setiap generasi lahir dengan semangat dan jiwa zaman ( zetgeist ) yang berbeda. Dalam zaman yang bergerak, perubahan tak terelakkan. Hanya saja, dalam rentang lokus dan tempus yang dinamis, ada beberapa dimensi yang harus dijaga konsistensinya. Ada juga yang harus ditransmisikan idenya. Dalam agama karena tuntutan zaman tentu ada pergeseran, terutama form ritus. Namun, jangan sampai pergeseran terjadi pada spirit, jiwa, dan content agama. Perlu penjagaan atas tradisi dan kode etik yang menjadi identitas agama tertentu. Sebuah ide — juga agama — bisa bertahan dan berhasil menancapkan pengaruhnya melintasi batas teritori, budaya, dan waktu tatkala ia mampu beradaptasi. Hanya dengan adaptasi, ia mampu bertahan dan berkembang di berbagai belahan bumi berbeda. Komunikasi verbal Dalam proses transmisi dan ekspedisi ide agama, komunika

Menguliti Tradisi Tasawuf (5-habis)

Interaksi Burhan , Bayan , dan Irfan [1] dalam Tasawuf Semua varian Tasawuf sepakat bahwa al Quran dan al Hadits me­ru­pakan teks oto­ritatif yang utama. Dari sini, mereka me­laku­kan eks­plorasi men­dalam ter­hadap teks ter­sebut. Sufi Sunny mendekati dengan irfani. Sedang Sufi Falsafy men­de­katinya dengan burhany . Tegasnya, burhani dan irfani berebut untuk me­ng­­eksplorasi satu objek, bayani . Ketiga nalar ter­sebut ( bayani , irfani, dan burhani ) tidak bertentangan satu sama lain, karena masing-masing pu­nya pijakan normatif dan pi­jakan logis; juga tidak saling me­ngungguli, karena masing-masing punya kelebihan dan kelemahan. Namun, antara ke­­tiganya terjalin sebuah rajutan unik yang saling menyokong dan melengkapi, tidak saling menegasi­kan (tri­khotomis) untuk menuju al Haq . Meski menge­depankan burhani, Tasa­wuf Falsafy tidak bisa me­ning­galkan irfany begitu saja, karena in­spirasi bisa datang dari mana saja. Demikan juga, Tasawuf Sunny mem­butuhkan burha

Menguliti Tradisi Tasawuf (4)

Tasawuf dalam Rentang Masa Tasawuf sebetulnya tidak dikenal pada masa Nabi, [1] karena memang kata tasawuf atau derivasinya (dalam pengertian sebagai­mana yang lazim kita pahami) tidak ditemukan dalam al Quran maupun al Hadits. [2] Namun, bila kita merujuk pada sisi etika yang menjadi ciri khas tasawuf, maka Muhammad SAW, adalah seorang sufi, bahkan sebelum ia diangkat menjadi Rasul. Perilaku sederhana yang ditampikan Muhammad SAW kemudian menjadi kekhasan tersendiri dan ditiru oleh kebanyakan sahabat. Tak jarang, banyak sahabat yang kemudian terlalu memforsir diri untuk beribadah: shalat sepanjang malam, zikir, membaca al Quran, berpuasa setiap hari, menjauhi perempuan —meski istri sendiri—, dan seterusnya. Sampai-sampai, Nabi mengkritik perilaku sahabat yang terlalu ekstrem tersebut, di antaranya adalah Sahabat Abdullah bin Amr bin Ash Radiyallâh ‘Anhumâ . Bahwa tubuh, mata, dan istri mereka juga punya hak. [3] Nabi juga menyampaikan bahwa harus ada keseim­bangan anta

Ijtihad Fikih Poskolonial (2)

Medan bahasa Pada penggalan tulisan bagian pertama, kita bisa membaca dengan jelas kutipan manuskrip Tabyin al-Islah , sebuah kitab yang ditulis Kyai Rifa'i Kalisalak. Ada empat terma yang penulis sengaja membubuhinya dengan garis bawah: alim fasik, penghulu, kefasikan, dan pe[me]rintahan. Keempat titik ini memainkan peran teramat penting dalam medan perang bahasa dan diskursus, waktu itu. Ihwal ini, kita tiada bisa menceraikan dari hegemoni dan dominasi negara asing (baca: kolonial) atas Nusantara. Baik secara fisik dengan barisan tentara dan dentuman meriam serta senapan; pengetahuan dengan penguasaan wacana; politik dengan penaklukan raja-raja kecil; dan bahkan pengetahuan agama dengan hadirnya sistem Kapengulon besera seperangkat penghulu yang mengitarinya. Kesemua itu menjadikan pola relasi kolonial dengan (pribumi) Nusantara menjadi benar-benar timpang, tak berimbang. Kolonial meminjam tangan para penguasa lokal, mulai dari Bupati dan ajudannya, hingga kepala des

Ijtihad Fikih Poskolonial (1)

Akeh alim fasik niru saiki zaman/ podo dadi penghulu maha kedosan// Buru artha haram duniane kaluhuran/ ikulah kena fitnah dunia kefasikan // Tan ngistuaken ing syara’ pinuturan/ setengahe tan asih ridho ing pe[me]rintahan // (KH. Ahmad Rifa'i Kalisalak, Manuskrip Tabyin al-Islah: 179-180) GERAKAN PROTES. Inilah yang dilancarkan Kyai Rifa'i, Pahlawan Nasional yang menyulut dan mengobarkan perlawanan pada 1850-an di dusun Kalisalak di pelosok Alas Roban, (kini, Kec. Limpung, Kab Batang, Jawa Tengah). Yang ia hadapi bukanlah seorang tiran, dengan pedang terhunus, melainkan sistem: sistem Kolonial yang juga mencipta Kapengulon. Keduanya berkelit kelindan pada sebuah hasrat hegemoni atas jiwa dan kekayaan Nusantara yang (masih) jadi primadona dunia, utamanya bagi Eropa. Sistem kolonial menghadirkan tatanan dunia pemerintahan baru atas bangsa kulit berwarna. Di balik sana, kuku-kuku panjang tajamnya meruncing, merenggut siapapun yang memekikkan “Jangan!!”, “

Membaca yang Tak Tertulis

“Bukan membaca di sepanjang baris, melainkan membaca di antara baris.” Begitu kata Fung Yulan, seorang filsuf Tiongkok kontemporer, tatkala memberikan wejangan, apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang yang hendak mempelajari filsafat Tiongkok. Karena, para filsuf Tiongkok tidak menuliskan apa yang dikatakan, melainkan menulis apa yang dipikirkannya. Kutipan di atas penulis temukan saat menyunting naskah Sejarah Filsafat Tiongkok . Naskah ini ditulis oleh Budiono Kusumohamidjojo, seorang pengajar Filsafat Tiongkok di Universitas Parahyangan. Dari wejangan Fung Yulan di atas, kita akan menemukan karakter yang berbeda antara filsafat Tiongkok (baca: filsafat Timur) dengan filsafat Barat. Filsafat Barat, berlandas rasio, riuh menyuarakan apa yang mereka baca dan tulis. Sedang filsafat Timur membaca dalam senyap, apa yang tak-tertulis dan tak-terkatakan . Filsafat Barat menitikberatkan pada kebebasan dan penghargaan (berlebih) pada individu. Dan saat bersihadap, maka tiap-tiap ind

Berebut Ruang di Galeri

“Demi kenyamanan, kami menggunakan sistem shift untuk pengunjung Jogja Gallery”, begitu yang disampaikan oleh seorang perempuan melalui pengeras suara, sesaat setelah pameran resmi dibuka. Benar saja, pengunjung galeri malam itu membludak, Berdasar perhitungan kasar penulis, mencapai lebih dari 200 orang. Penulis, lewat tulisan ini tidak bermaksud membahas konten pameran Anang Asmara yang menampilkan proses rekonstruksi akan sepenggal budaya berpakaian ala Jawa: batik ke dalam media kanvas. Di sisi lain, penulis merasa perlu memotret sisi lain dari sebuah galeri: para pengunjung yang mulai menyemut di pintu masuk. Benar saja. Beberapa pengunjung berjalan gesit, memotong jalan melompati beberapa kursi yang sudah kosong. Ia segera masuk pintu. Yang saya tahu, ia adalah wartawan sebuah majalah yang terbit di Solo. Ia segera masuk dan dari dalam, ia mengabadikan momen ketika beberapa orang memasuki pintu. Beberapa fotografer lepas dari Kantor Berita Antara dan beberapa media massa mel

menulis tanpa ide

Ide baru. Di sinilah titik pertaruhan sebuah tulisan oleh penulis. Menjadi kian menarik, tatkala ide itu menggigit dan unik. Lalu jika tiada ide, saya akan menulis apa? Saya berhenti di sini kala hendak menulis halaman ini. Saya kebingungan, benar-benar tidak ada ide baru yang hendak penulis bagikan kepada pembaca tentang dunia menulis. Saya membaca-baca arsip FHK. Ah! (Hampir) semua ide tentang menulis sudah dituliskan para penulis terdahulu di rubrik FHK ini. Lama merenung, sampai akhirnya saya tersadar. Selama ini, saya terlalu fokus pada sosok “ide”. Inilah yang justru membelenggu kreatifitas saya selaku kreator. Padahal, seharusnya tidak demikian. Saya bisa menuliskan apapun, bahkan saat tidak ada ide baru sekalipun. Keterbelengguan ini memuncak tatkala kita hanya terfokus pada apa yang kita sebut sebagai ide baru. Saya kemudian mencari-cari di pelbagai bacaan tentang bagaimana mengasah keterampilan menulis. Saya tidak menemukan hal yang benar-benar baru dan fresh . Yang

Humanisasi perilaku sadis

Pembunuhan berencana dengan mutilasi kerap terjadi akhir-akhir ini. Di Jawa Tengah sendiri, ada kasus mutilasi di Hotel Handayani II Kopeng, Kab. Semarang dan mutilasi di Jati Barang. Mutilasi seolah menjadi tren di dunia kriminalitas. Dan bila diamati lebih lanjut, hal ini tidak bisa dilepaskan dari peran media massa sebagai pewarta. Dunia jurnalistik mengenal pemeo anjing menggigit orang bukan berita, orang menggigit anjing, baru berita". Lalu, bad news is good news . Opini ini ditambah dengan logika pasar yang dipertuhankan dan dipersonifikasikan menjadi rating dan oplah. Logika pasar berkata, segala yang menarik perhatian publik selalu diekspos. Tak heran, kriminalitas sadistik belakangan kian sering menghiasi media: elektronik maupun cetak. Ini tak lepas dari faktor unik, menarik, dan penting yang melekat pada kasus mutilasi. Sebagai salah satu produsen wacana ( discourse ), media massa berperan penting dalam pembentukan yang disebut Emile Durkheim sebagai kesadaran

Beragama itu Tidak Bebas

Kebebasan dan agama adalah dua hal yang bertolak belakang. Bila kita beragama, maka tidak ada kebebasan di situ. Kita selalu terikat dengan aturan yang ada dan diciptakan oleh agama. Maka, kebebasan beragama tidak akan pernah ada. Karenanya, term kebebasan agama amat rancu. Demikian komentar Syafiq Hasim membuka diskusi “Kebebasan Beragama dan berkeyakinan: Perspektif Agama-Agama”. Senin, 17 Maret 2008, Teater Utan Kayu sesak oleh para pengunjung. Penulis berkesempatan turut serta dalam diskusi yang cukup ramai tersebut. Pukul 19:00 diskusi dimulai dengan menghadirkan KH. Husein Muhammad (Islam), Martin Lukito Sinaga (Protestan) dan Frans Magnis-Suseno (Katolik). Sebelum acara ini dimulai, terlebih dahulu diadakan pemotongan tumpeng di Kafe Tempo dalam rangka ulang tahun Jaringan Islam Liberal ke-7. Komentar Syafiq di atas ternyata menyulut semangat para pembicara dan peserta untuk lebih antusias dalam berdiskusi. Frans Magnis mengawali diskusi dengan menyatakan bahwa setiap ora

Merias wajah keberagamaan kita

YAKINKAH Anda, bahwa Anda adalah seorang pemeluk agama yang taat? Jika Anda menjawab ya, apakah Anda yakin, agama yang Anda peluk itu adalah satu-satunya yang benar dan bisa mengantarkan Anda kepada kebahagiaan di dunia dan kehidupan mendatang? Jika ya, bagaimana dengan agama lain? Dapatkah agama lain “melakukan” hal yang sama dengan agama yang Anda peluk? Atau, agama lain itu sesat? Jika ya, barang kali kita perlu menggeser sudut pandang atas fenomena keberagamaan kita. Dalam The Elementary Form of Religuous Live, Emile Durkheim menuliskan, dalam institusi agama, setidaknya ada tiga elemen yang tidak bisa dipisahkan: realitas supra, ritus, dan komunitas. Realitas supra merupakam tema sentral agama. Realitas ini diandaikan melampaui kemampuan kodrati manusia. Sehingga manusia merasa perlu untuk mendapatkan restunya, terhindar dari murkanya, di kehidupan dunia-akherat. Karenanya, manusia melaksanakan serangkaian ritual. (Harun Nasution, 1999:20). Sementara, komunitas dalam institusi ag