Skip to main content

Posts

Aku Ingin Jogja (Kembali) Berhati Nyaman

Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu Masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku bersahabat penuh selaksa makna Terhanyut aku akan nostalgi saat kita sering luangkan waktu Nikmati bersama suasana Jogja. Kla Project,  Yogyakarta. Lirik lagu legendaris ini sering terngiang di telinga. Dahulu sekali, sekitar lima belas tahun lalu, saat itu saya masih sekolah di kampung halaman di Lampung Tengah. Saya sempat membayangkan bagaimana ya kalau saya bisa sekolah di Jawa, pasti keren. Apalagi bisa sekolah di Jogja, gudangnya orang pinter. Punya banyak teman yang pinter-pinter. Bisa jalan-jalan. Ah asyiknya.... Empat tahun kemudian, saya berkesempatan melanjutkan studi di Fak. Syariah IAIN Walisongo Semarang. Senang sekali rasanya bisa menjadi mahasiswa dan bisa studi lanjut di Jawa. Bagi warga kampung kami, itu sangat keren. Saat itu, selesai mengikuti orientasi mahasiswa baru diwajibkan untuk ikut  study tour . Dan.. yolla. Tujuannya adalah Jogja. Septe...

Dakwah dan Budaya Pop

Membincang dunia dakwah kontemporer tak akan pernah sempurna tanpa kita membincang kelindan ideologi dan pergulatan identitas dalam kebudayaan mutakhir di Indonesia. Dalam lanskap modernitas dan bahkan post-modernisme, kebudayaan Indonesia beberapa dekade belakangan ini tak bisa dilepaskan dari budaya populer. Dalam pandangan seperti ini, membincang dakwah tak akan lengkap tanpa membincang kaitannya dengan budaya populer. Budaya populer yang dibahas dalam tulisan ini hanya akan dikerucutkan dalam pemaknaan bahwa budaya tersebut diproduksi secara massal oleh industri untuk dikonsumsi secara massal juga oleh masyarakat. Dalam konsumsi ini, dibutuhkan media yang digunakan untuk menyajikan produk budaya kepada konsumen. Sehingga, pembahasaan kali ini tentu akan fokus pada objek media massa dalam sikapnya terkait agenda dakwah Islam, dan juga program acara mereka. Logika Media Televisi nyaris tak bisa dilepaskan dari masyarakat kita. Kotak bercahaya itu seakan jauh lebih akrab dengan kit...

Hak Menghadirkan Kematian (4-habis)

Kembalikan Mandat Asghar Ali Engineer menekankan pentingnya pembacaan menyeluruh atas teks-teks ( nushus ) yang berbicara mengenai qishash . Baginya, ayat ini terbebani berbagai problem. Utamanya berkait situasi kondisi Jahiliyah Arab yang amat rumit, lekat dengan tribalisme dan balas dendam. [1] Pada masa itu—dan hingga kini—, demi harga diri, puluhan nyawa dipertaruhkan. Harga diri hanyalah satu di antara banyak alasan yang mendasari pembunuhan, di samping berbagai problem lain: ketidakstabilan emosi, kurangnya kontrol diri, dendam pribadi, dst yang kerap menjadi motif pembunuhan. Kausa di atas sedemikian ragam. Sehingga, asumsi menurunnya pembunuhan tatkala hukuman mati diterapkan tidak menemukan pembenaran di sini. Adalah benar, semua pembunuh takut hukuman mati. Tapi, tampaknya hukuman mati ini justru menjadikan mereka lebih kreatif dalam menjalankan pembunuhan serapi mungkin hingga tak bisa terlacak dan bebas dari jeratan hukum.

Hak Menghadirkan Kematian (3)

Delegasi Kematian Bila memang kematian adalah hak prerogatif Tuhan, ada sedikit keunikan yang ditampilkan. Betapa tidak? Tuhan sendiri justru memberikan peluang, bahkan mewajibkan manusia untuk menghadirkan kematian, melenyapkan ruh sebagian manusia yang lain.  Pemberian peluang ini dengan memperhatikan kriteria dan batasan-batasan tertentu. Tengok misalnya QS 2:178. ”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita.” Al-Qur’an juga menuturkan, hukuman qishas (balasan setimpal) sudah ada pada masa Musa AS yang tercantum dalam Taurat. QS 5:45 menuliskan, ”Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (at-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya.” Amat jelas, Tuhan mewajibkan qishash (pembalasan setimpal). Memot...

Hak Menghadirkan Kematian (2)

Roh dalam Teks Dalam tradisi Arab, terma mati berasal dari kata kerja dasar  Ù…ات , [m]a[a][t]a. Kata ini diasosiasikan dengan konsep "tenang", "reda", "usang", dan "tak berpenghuni". [1] Asosiasi ini kemudian dipertegas dengan konsep lepasnya ruh dari wadag tubuh sebagaimana dipahami publik. Maka, konsep kematian, juga kehidupan tidak terlepas dari ruh. Kehidupan adalah kehadiran ruh, kematian adalah kepergian. Sementara itu, kata ruh dalam bahasa Arab dianggap berasal dari kata [r]a[w]a[ h ]a . Kata ini diasosiasikan dengan konsep “datang”, “berangkat”, atau “pergi”. Sementara, kata [r]a[w][ h ] diasosiasikan dengan angin sepoi-sepoi. Ini perlambang ruh: bisa disadari kehadirannya, tapi tidak bisa ditangkap wujudnya oleh indera. Kata ruh sendiri, dalam bahasa Arab, biasa ditranslit ke dalam bahasa Indonesia menjadi “ruh”, “jiwa’, “sukma”, “intisari”, “hakekat”, “pertolongan”, “hukum Allah dan perintahnya”, dan ‘malaikat”. [2] Dala...

Hak Menghadirkan Kematian (1)

Hak Menghadirkan Kematian [1] Kritik Pidana Mati dalam Filsafat Hukum Islam Dalam semalam, Kejaksaan mengeksekusi tiga terpidana mati: Sumiasih, Sugeng (Surabaya), dan Tubagus Yusuf Maulana alias Usep (Banten) pada 20 Juli 2008 lalu. Nyawa mereka melayang di ujung senapan para algojo dari Brimob. Selanjutnya, Amrozi cs, para pelaku bom Bali  menyusul. Kematian sejatinya tidak akan pernah terlepas dari fenomena kehidupan. Keduanya jalin-menjalin dalam sebuah harmoni yang teramat indah. Tapi, jemalin harmoni ini akan menjelma problem manakala tidak dipahami dan “diselesaikan” dengan baik, terutama berkait persoalan kehadiran kematian. Senyatanya, kehadiran kematian sama misterinya dengan kehadiran kehidupan. Keduanya sama-sama menimbulkan implikasi unik. Kehidupan berimplikasi pada hadirnya hak dan kewajiban atas diri yang hidup dan lingkungan [2] yang dihadirinya. Pun, hak dan kewajiban yang-hadir secara vertikal kepada Yang Maha Hidup. Sementara, kehadir...

Mentransmisi Agama Lewat Dongeng

"Didiklah anakmu dengan bijaksana. Karena mereka terlahir bukan di jaman kalian." Ini pesan Imam Ali KW kepada para sahabatnya. Setiap generasi lahir dengan semangat dan jiwa zaman ( zetgeist ) yang berbeda. Dalam zaman yang bergerak, perubahan tak terelakkan. Hanya saja, dalam rentang lokus dan tempus yang dinamis, ada beberapa dimensi yang harus dijaga konsistensinya. Ada juga yang harus ditransmisikan idenya. Dalam agama karena tuntutan zaman tentu ada pergeseran, terutama form ritus. Namun, jangan sampai pergeseran terjadi pada spirit, jiwa, dan content agama. Perlu penjagaan atas tradisi dan kode etik yang menjadi identitas agama tertentu. Sebuah ide — juga agama — bisa bertahan dan berhasil menancapkan pengaruhnya melintasi batas teritori, budaya, dan waktu tatkala ia mampu beradaptasi. Hanya dengan adaptasi, ia mampu bertahan dan berkembang di berbagai belahan bumi berbeda. Komunikasi verbal Dalam proses transmisi dan ekspedisi ide agama, komunika...